Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menahan mantan Menteri ESDM sekaligus mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemerasan pada sejumlah kegiatan di Kementerian ESDM pada periode 2011-2013.

"Saudara-saudara, tadi saya tidak mau menandatangani berita acara penahanan karena saya menganggap saya sudah mengajukan permohonan untuk tidak akan melarikan diri, akan kooperatif, tidak akan menghilangkan barang bukti dan tidak akan mengulangi perbuatan saya," katanya setelah diperiksa selama sembilan jam di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Jero keluar dengan mengenakan rompi tahanan berwarna oranye dengan didampingi oleh sejumlah kuasa hukumnya.

"Saya sudah ajukan tadi pagi, ternyata saya ditahan. Saya tidak bisa apa-apa. Saya mohon keadilan harus ditegakkan. Harus tegak, adil. Karena banyak pihak yang mengatakan seperti itu (membuat pernyataan), tidak ditahan," tambah Jero.

Jero Wacik ditahan di Rumah Tahanan Kelas 1 Cipinang Jakarta Timur.

"Mulai tanggal 5 Mei sampai 24 Mei 2015, JW (Jero Wacik) ditahan di Rutan Kelas 1 di Cipinang Jakarta Timur," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha.

Meski Jero menolak ditahan, menurut Priharsa, unsur subjektif dan objektif penyidik untuk menahan Jero sudah terpenuhi.

"Memang JW beralasan bahwa unsur subjektif untuk dilakukan penahanan tidak terpenuhi tapi penyidik memiliki persepsi lain karena ini subjektifitas penyidik sebagaimana pasal 21 KUHAP telah terpenuhi, sedangkan sisi objektif juga terpenuhi karena ancaman di atas 5 tahun," ungkap Priharsa.

KPK juga menetapkan Jero sebagai tersangka saat menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata periode 2008-2011 dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 421 KUHP.

Pasal 12 huruf e mengatur mengenai penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri yaitu pasal mengenai pemerasan dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK menduga Jero Wacik melakukan pemerasan untuk memperbesar dana operasional menteri (DOM) dalam tiga modus yaitu menghimpun pendapatan dari biaya pengadaan yang dianggarkan Kementerian ESDM, meminta pengumpulan dana dari rekanan untuk program-program tertentu, menganggarkan kegiatan rapat rutin tapi rapat itu ternyata fiktif.

Hal itu diduga dilakukan Jero karena DOM sebagai Menteri ESDM kurang dibandingkan dengan saat menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

DOM itu diduga mengalir ke sejumlah pihak antara lain Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, mantan ketua Komisi VII DPR Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana dan pimpinan media massa nasional Don Kardono.

Total dana yang diduga diterima oleh mantan Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat itu adalah Rp9,9 miliar.

Dalam kasus kedua, KPK menyangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nompr 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Dugaan kerugian negara diperkirakan sekitar Rp7 miliar akibat penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan anggaran tersebut.

"Penyidikan tersangka yang sama untuk kasus dugaan korupsi di Kemenbupar masih dilakukan penyidikan baik pemeirksaan saksi maupun pendalaman dokumen atau bukti-bukti lain," tambah Priharsa.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015