Jakarta (ANTARA News) - Seniman Dwinanda Agung K meyakini tidak ada suatu hal yang benar-benar kosong di dunia ini.

"Ada material yang belum terdefinisi maka terlahir di kepala, bahwa ini kosong," kata Nanda, panggilannya, tentang pameran tunggal "Nandaism" yang digelar di Japan Foundataion 7-19 Mei 2015.

Berangkat dari "suwung", yang dalam bahasa Jawa berarti kosong, lulusan Desain Interior Universitas Trisakti ingin melahirkan suatu karya seni yang tidak terlepas dengan sesuatu yang ada di sekitarnya.

Seniman kelahiran 1982 ini lantas memaknai ruangan tempat ia memajang lukisan dan objek lainnya sebagai karya seni, bukan sekedar ruangan yang kosong.

Bagi dia, ruangan merupakan seni karena merupakan karya arsitektur.

"Saya hormati sebuah ruangan sebelum saya intervensi dengan pemikiran saya," kata Nanda.

Melihat karya seni, kata Nanda, otomatis dengan ruangan di sekitarnya.

Nandaism ada setelah atau bersamaan dengan adanya seni dan karya seni.

Konsekuensi dari keadaan tersebut adalah sei dan karya seni diadakan dan dan dihadirkan terlebih dulu di interior ruang pameran.

Unsur-unsur ruang pameran dengan segala macam elemennya merupakan seni dan karya seni.

Lukisan dalam pameran, tidak mungkin ada tanpa bantuan dinding dan pencahayaan, misalnya.

Objek seni lainnya membutuhkan lantai, dinding atau plafon untuk dipamerkan.

Berada di luar ruangan pun, karya seni tetap dapat dipamerkan meski tidak ada dinding.

Lukisan yang biasanya digantung di dinding dapat diletakkan di rumput misalnya.

Karya Nandaism adalah keseluruhan lantai, dinding, langit-langit, pencahayaan dan segala elemen yang ada dalam ruang pamer.

"Saya berpikir maka saya ada", mengutip filsuf Rene Descartes, seniman yang aktif di komunitas Perfomance Art di Jakarta (PADJAK), memaknai tubuhnya sendiri sebagai medium yang terpengaruh dari berbagai karya seni.

Semua orang selalu berkutat dengan pikirannya. Dengan berpikir, seseorang merasa hidup.

Oleh Natisha Andarningtyas
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015