Dulunya, rumah-rumah mungil yang berdesakan di perbukitan itu adalah kampung para pengungsi Perang Korea yang mulai menghuni bukit-bukit dan membangun rumah-rumah mungil pada pertengahan 1950-an.

"Perang baru usai dan banyak orang tidak mempunyai uang untuk membeli rumah di kota, maka pilihannya adalah ke bukit-bukit itu," ucap seorang pemandu wisata, Hey Min Yoon.

Kini, rumah-rumah yang bercat warna-warni itu menjadi salah satu tempat tujuan wisata di Busan karena daya pikatnya sebagai desa seni bahkan dijuluki sebagai Santorini (Yunani)-nya Korea atau Machu Pichu, karena menyerupai permukiman di desa kuno di Peru yang juga terletak di bukit-bukit.

Permukiman kumuh di negara manapun selalu dianggap mengganggu, apalagi Busan sebagai kota kedua di Korea Selatan setelah Seoul, sedang berkembang membangun kota baru dengan gedung pencakar langit dengan desain pop dan kontemporer.

Alih-alih menggusur kampung kumuh itu, pemerintah Busan malahan membuat proyek "mempercantik" kawasan tersebut dengan mengundang sejumlah seniman dan pelajar untuk mengecat dan mendekorasi rumah-rumah penduduk pada tahun 2009.

Sejak itu, permukiman padat dengan rumah yang menempel di lereng-lereng bukit itu terlihat seindah pelangi, berwarna-warni, apalagi bila dilihat dari ketinggian, menjadi bunga kota yang memikat.

Gamcheon memang unik, rumah-rumahnya kecil berderet ke atas dengan lorong-lorong sempit yang bisa membuat orang tersesat bila salah berbelok.

Namun, sebagai objek wisata, "nyasar" tidak menjadi masalah karena justru bisa melihat-lihat dekorasi macam-macam misalnya pot-pot bunga yang ditata dengan warna-warni bebungaan musim semi, aneka cangkang kerang menempel di dinding rumah, patung-patung mungil atau lukisan dinding.

"Setiap hari turis datang mengunjungi tempat ini, kami semua jadi sibuk," tutur laki-laki paruh baya warga setempat yang berbicara dalam bahasa Inggris. Kemampuannya itu membuat ia terjun menjadi relawan melayani wisatawan.

Ia akan mengajak wisatawan menaiki jalan setapak yang sempit, mendaki ke atas, dihimpit dinding-dinding rumah dengan lorong bagai labirin hingga mencapai sebidang tanah yang agak lapang untuk memandang ke perkampungan di bawah.

"Orang gendut dilarang naik nih," celetuk seseorang sambil menapaki tangga batu semen yang lebarnya kurang dari satu meter.

Titik ini juga menjadi tempat berfoto yang digemari wisatawan, seperti sudut-sudut lain yang penuh mural dan seni instalasi.

Kunjungan wisatawan yang tiada henti setiap hari akhirnya menumbuhkan perekonomian desa kecil tersebut. Penduduk mulai mengubah rumah tinggal mereka menjadi toko cendera mata atau pun menjual minuman, makanan ringan dan buah-buahan.

Pemerintah mendorong warga untuk membuka kafetaria, fasilitas umum seperti kantor pos, bank dan toilet umum dibenahi dengan gaya yang menyatu dengan lingkungannya.


Kampung yang hilang

Sebuah rumah diubah menjadi museum yang menampilkan prasasti sejarah Gamcheon termasuk memamerkan benda-benda kuno berupa perangkat dapur, peralatan rumah tangga, alat pertanian, mainan anak dan foto-foto.

Tidak semua warga bergembira dengan perubahan kampung hunian yang kini hiruk-pikuk menjadi tempat orang melongok-longok ke dalam rumah dan berfoto.

Beberapa rumah terlihat kosong tak berpenghuni atau menutup pintu rapat-rapat. Kehidupan sosial kampung tersebut telah berubah sama sekali, dari permukiman biasa menjadi tempat keramaian yang selalu dipadati orang asing.

Siang itu, seorang perempuan lanjut usia tampak duduk di halaman depan rumahnya yang sempit, untuk berjemur matahari hangat musim semi. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam untuk menghindari pandangan mata dengan pengunjung yang rata-rata justru tertarik memotretnya.

"Bisa dipastikan semua wisatawan yang datang ke Busan akan mengunjungi tempat ini," ujar Boram Jun, seorang perempuan muda yang bekerja sebagai penerjemah.

"Kampungnya indah meskipun rumah-rumahnya terlalu mungil," ungkap Arun Gulati, pengunjung dari India.

"Oh tempat seperti ini justru saya mau tinggal, rumahnya kecil," timpal Stella Mour, keduanya adalah wartawati peserta Konferensi Wartawan Internasional di Korea pada April lalu yang berkesempatan pesiar ke Gamcheon.

Meskipun dijuluki sebagai kampung seni, Gamcheon tidak menampakkan "atraksi" sebagai pusat kesenian (tradisional) seperti yang biasa disandang oleh kampung seni di tempat-tempat lain.

Sebutan kampung seni untuk kota kecil di perbukitan Busan ini lebih mengarah pada seni lukis dan instalasi modern, seni pop yang diterapkan pada perkampungan biasa yang kemudian menyulap kampung tersebut menjadi berwajah baru.

"Sepertinya banyak seniman tinggal di sini," celetuk seorang wisatawan.


Rumah Cinta

Di jalan utama kampung seni terlihat sebuah rumah dengan lukisan pria-wanita serta gambar hati di sana-sini dalam warna merah muda. "Rumah Cinta" tertulis di dinding depan dalam bahasa Inggris.

Tempat itu menjadi salah satu sudut favorit berfoto juga, sementara di dekatnya, terdapat pagar setengah tinggi manusia yang strategis untuk memandang rumah warna-warni di bagian bawah.

Wisatawan yang berada di tempat itu seolah-olah bersama-sama dengan Pangeran Kecil (tokoh dari karya fiksi Little Prince, karya penulis dan aristocrat Prancis Antoine de Saint-Exupery, 1943).

Patung si Pangeran Kecil bersama sang serigala duduk di atas pagar mengawasi hamparan lembah di bawahnya yang padat oleh rumah warna-warni biru, merah, kuning, hijau.

Sambil berkeliling kampung aroma makanan ringan berupa olahan cumi-cumi, sosis bakar atau buah stroberi yang merah segar berukuran besar, bisa mengusik perhatian untuk dibeli dan dinikmati sambil jalan-jalan.

Buah tangan kerajinan kertas dalam bentuk miniatur pernak-pernik, gantungan kunci, magnet, kartu pos dan kaos oblong adalah benda yang banyak dijajakan, meskipun tersedia pula aneka dompet dengan motif tradisional atau penutup ponsel dengan warna-warni cerah meriah.

Sayangnya brosur-brosur pariwisata yang tersedia baru dalam bahasa Korea, disediakan secara cuma-cuma di mulut jalan oleh para relawan warga kampung.

Tanpa berbelanja pun wisatawan bisa membawa kenang-kenangan, selain foto, di beberapa tempat tersedia stempel yang bisa kita pakai untuk membawa kenang-kenangan stempel bergambar kampung seni tersebut.

"Pali-pali...pali-pali..." ujar pemandu mengajak wisatawan bergegas meninggalkan Gamcheon.

Oleh Maria D. Andriana
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015