Jenewa (ANTARA News) - Kantor untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA) pada Jumat (15/5) menyatakan situasi kemanusiaan di Yaman masih buruk sementara kebutuhan bantuan terus meningkat meski ada gencatan senjata lima hari.

Koordinator Kemanusiaan untuk Yaman Johannes Van Der Klaauw mengatakan OCHA ingin menjangkau 2,5 juta warga Yaman setelah jeda kemanusiaan yang dimulai Selasa (12/5).

Gencatan senjata sementara tersebut juga akan memungkinkan sistem air diperbaiki dan bahan bakar disalurkan sehingga akan bermanfaat bagi warga yang terpengaruh dalam beberapa pekan ke depan.

Laporan di lapangan menunjukkan meski jeda umumnya berjalan, bentrokan kecil di beberapa tempat terus terjadi setiap hari, menghalangi gencatan senjata diberlakukan secara penuh.

"Kami terus berunding dengan semua pihak dalam konflik tersebut untuk berusaha memperoleh akses yang aman ke warga," kata pemimpin OCHA di Yaman Trond Jensen.

Menurut OCHA, faktor lain yang menghalangi upaya bantuan ialah rejim inspeksi embargo senjata, sebab tak ada barang atau bahan bakar yang bisa memasuki negeri tersebut dalam jumlah yang mencukupi atau tepat pada waktunya.

"Pemeriksaan perlu disederhanakan dan dibuat lebih cepat sehingga impor kebutuhan komersial dan kemanusiaan berupa bahan bakar, makanan dan barang-barang dapat dilanjutkan," kata Van Der Klaauw seperti dilansir kantor berita Xinhua.

"Jika bahan bakar tambahan tidak tiba dalam beberapa pekan mendatang, rumah sakit, fasilitas sanitasi dan air, telekomunikasi dan listrik harus menghentikan kegiatan mereka," tambahnya.

OCHA menyatakan sejauh ini 430.000 liter bahan bakar telah diimpor ke negeri tersebut, rata-rata 10 persen dari kebutuhan negara itu setiap bulan.

Bahan bakar sangat penting untuk Yaman karena negara itu mengoperasikan generator yang menyediakan pasokan listrik untuk rumah sakit dan layanan dasar lain, dan memungkinkan pasokan bantuan yang sangat diperlu diangkut untuk penduduk Yaman.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), lebih dari 300.000 orang telah menjadi pengungsi baru sejak Maret, dan sebanyak 8,6 juta orang lagi memerlukan layanan kesehatan.

Data resmi menyebutkan jumlah korban jiwa akibat konflik itu sudah lebih dari 1.600, sementara lebih dari 6.200 mengalami cedera selama krisis yang berkecamuk.(Uu.C003)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015