Baghdad (ANTARA News) - Ribuan pejuang Syiah pada Senin bersiap memerangi kelompok Negara Islam (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS) yang merebut Ramadi, ibu kota Provinsi Anbar di Irak, akhir pekan lalu.

Sepasukan beranggotakan 3.000 pejuang Syiah berkumpul di sebuah basis militer dekat Ramadi, bersiap melawan kelompok bersenjata ISIS menggunakan kendaraan-kendaraan lapis baja dari kota barat laut Baghdad menurut saksi mata dan seorang aparat militer.

Kelompok Syiah yang dikenal dengan nama Hashid Shaabi atau Mobilisasi Populer "mencapai markas Habbaniya dan sekarang siaga," kata Kepala Dewan Provinsi Anbar, Sabah Karhout.

Seorang saksi mata menggambarkan barisan panjang kendaraan lapis paja dan truk-truk penuh senapan mesin dan roket mengibarkan bendera kuning Kataib Hezbollah, salah satu faksi milisi, menuju markas yang berada sekitar 30 kilometer dari Ramadi, salah satu daerah paling bergolak di Irak.

Washington, yang memimpin kampanye serangan udara untuk menghalangi kemajuan kelompok bersenjata ISIS dan berusaha membangun kembali kekuatan tentara Baghdad, menganggap enteng hilangnya Ramadi.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mengatakan itu akan bisa direbut kembali dalam hitungan hari dan para pejabat Amerika Serikat bersikeras menyatakan tidak akan ada perubahan strategi meski upaya untuk menahan ISIS gagal.

Pesawat-pesawat perang koalisi pimpinan Amerika Serikat sudah melancarkan 19 serangan dekat Ramadi dalam 72 jam terakhir atas permintaan pasukan keamanan Irak menurut juru bicara koalisi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 25.000 orang telah meninggalkan kota itu setelah serangan ISIS, menuju arah timur ke Baghdad, dan sekitar 500 orang terbunuh dalam pertempuran di Ramadi dalam beberapa hari terakhir.

ISIS menyatakan telah menyerang tank-tank dan membunuh "puluhan orang murtad", sebutan mereka untuk pasukan keamanan Irak.

Seorang saksi mata mengatakan mayat-mayat polisi dan tentara tergeletak di hampir seluruh jalan, dengan kendaraan-kendaraan militer terbakar di dekatnya.

Kejatuhan kota itu menandai kekalahan terbesar sejak Mosul jatuh bulan Juni tahun lalu dan menjadi pukulan bagi pasukan anti-ISIS: koalisi pimpinan Amerika Serikat dan pasukan keamanan Irak dengan dukungan dari kelompok Syiah yang didukung oleh Iran.

Itu merupakan balasan keras bagi Washington, yang pada akhir pekan mengerahkan pasukan khususnya untuk melancarkan serangan di Suriah yang katanya menewaskan pemimpin ISIS yang bertanggung jawab dalam penjualan gas dan minyak ilegal kelompok serta menangkap istrinya.


Kekhawatiran Suni

Sementara pemerintah di Baghdad mendesak suku-suku Suni di Anbar menerima bantuan dari kelompok Syiah untuk melawan ISIS, banyak di antara mereka memandang kelompok Syiah sebagai ancaman yang lebih buruk ketimbang kelompok bersenjata itu.

ISIS mengklaim diri mereka sebagai pembela Suni dari serangan sektarian petempur yang didukung Iran.

Namun beberapa suku di Anbar sangat takut dengan aturan keras ISIS sehingga mereka membuka diri terhadap bantuan dari pihak manapun, bahkan dari milisi Syiah yang tidak mereka sukai.

Seorang pemimpin suku, Sheikh Abu Majid al-Zoyan, mengatakan dia mencurigai milisi Syiah namun "pada tahap ini, kami menyambut kekuatan apapun yang datang dan membantu membebaskan kami dari cengkeraman" ISIS.

Ali Akbar Velayati, seorang pejabat senior Iran, mengatakan Teheran siap membantu melawan ISIS dan dia yakin kota itu akan "dibebaskan."

ISIS, yang merupakan cabang dari al Qaeda, mengendalikan sebagian besar wilayah Irak dan Suriah dalam kekhalifahan yang mereka proklamirkan sendiri serta telah membunuh banyak pemeluk agama minoritas dan memenggal para sandera, demikian seperti dilansir kantor berita Reuters.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015