Perth (ANTARA News) - Sejarah selalu berulang, namun tidak sepenuhnya sejarah terjadi persis seperti pada masa lalu. Pada akhir 1970-an, Indonesia menerima manusia perahu asal Vietnam dan menempatkan mereka di Pulau Galang, Kepulauan Riau.

Krisis manusia perahu di Asia Tenggara itu bermula dari perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang memaksa ribuan warga Vietnam meninggalkan negeri mereka demi kehidupan yang lebih baik.

Sebuah buku yang disusun oleh Isya Ismayawati berjudul "Manusia Perahu, Tragedi Kemanusiaan di Pulau Galang" tahun 2013 menjelaskan bagaimana krisis manusia perahu Vietnam pada saat itu ditangani oleh Indonesia.

Selama berbulan-bulan, mereka terapung di Laut China Selatan dan tak sedikit yang tewas akibat kelaparan, kehausan, kelelahan, atau dibunuh bajak laut.

Bersama dengan UNHCR, badan yang menangani pengungsi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia menyediakan Pulau Galang sebagai fasilitas permukiman khusus bagi pengungsi Vietnam sebelum akhirnya dikirimkan ke negara-negara ketiga.

Sejarah pengungsian 250.000 orang manusia perahu Vietnam itu masih tersimpan baik di Pulau Galang. Ada rumah sakit, barak, sekolah, bahkan penjara.

Selama lebih dari 17 tahun, mereka tinggal di pulau yang luasnya sekitar 250 hektare itu dan berbagai foto-foto para pengungsi masih bisa disaksikan dengan susunan yang rapi.

"Kesuksesan negara kita menangani pengungsi Vietnam selama dua dekade jarang diketahui masyarakat," tulis sejarahwan Dr Asvi Warman Adam mengomentari buku ini.

Sejarahwan LIPI itu menegaskan bahwa buku ini memperlihatkan sisi humanisme bangsa Indonesia sekaligus menunjukkan keberhasilan politik luar negeri Indonesia pada lingkup regional Asia Tenggara.

Bagaimana dengan krisis manusia perahu yang melanda Indonesia hari ini? Akankah kesuksesan serupa dapat terukir?.



Ujian Kemanusiaan

Indonesia hari ini adalah Indonesia dengan ujian kemanusiaan yang tidak sederhana. Ada ribuan orang yang terombang-ombing di Laut China Selatan nan ganas. Sebagian besar mereka terjebak dalam rantai perdagangan manusia, bisnis besar dan kian menggurita setelah banyak perang dan kekerasan terjadi di banyak negara di dunia.

Bulan ini, ada ribuan pengungsi asal Myanmar dan Bangladesh yang mencoba bisa mendarat di daratan dan melepaskan diri dari ancaman kematian akibat kelelahan, kelaparan, dan kehausan di laut. Ini adalah krisis manusia perahu terbesar di Asia Tenggara setelah Perang Vietnam di tahun 1970-an.

Khusus pengungsi asal Bangladesh, negeri itu sudah berkomitmen untuk memulangkan mereka dari Indonesia dan Malaysia.

Tapi, hal itu berbeda untuk mereka yang dari Myanmar. Mereka adalah etnis Muslim Rohingya. Tubuh-tubuh kurus dan tatapan mata pria-wanita, dewasa-anak-anak yang penuh pengharapan mengisi berbagai berita televisi, koran, dan laman berbahasa Indonesia dan Inggris.

Mereka adalah manusia-manusia yang tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar. Kulit mereka yang gelap berbeda dengan kebanyakan orang di Myanmar, terlebih agama mereka yang bukan Buddha.

Laman BBC sekitar dua tahun lalu pernah merilis tulisan Alan Strathern peneliti di Universitas Oxford tentang latar belakang penindasan yang dialami Muslim Rohingya di Myanmar.

Dengan judul "Kenapa Biksu Buddha menyerang Muslim?", tulis itu menyajikan bahasan latar belakang yang menjadi sangat kunci untuk menjelaskan pengingkaran pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya.

Ketika Burma (sekarang disebut Myanmar) berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan dari kolonialisme Kerajaan Inggris, terjadi insiden kekerasan di tahun 1930-an di Rangoon yakni biksu menusuk empat orang Eropa.

"Banyak orang merasa Buddhisme menjadi aspek yang integral dengan identitas nasional mereka dan posisi minoritas di negara yang baru merdeka ini menjadi sangat tidak nyaman," tulis Alan.



Pertanyaan Moral

Dilema bergulir ke pertanyaan yang lebih mendalam. Myanmar secara bernas telah membantah bahwa etnis Rohingya adalah warga Myanmar, bahkan tokoh sekelas Aung San Suu Kyi yang merupakan peraih Nobel Perdamaian dan aktivis HAM pun memilih untuk bungkam seribu bahasa soal Rohingya.

Pertanyaan moral pun bergulir. Etnis Rohingya, adalah satu dari 135 etnis di Myanmar, yang secara hukum tidak memiliki status kewarganegaraan. Bertahun-tahun mereka hidup di bawah kekangan terhadap akses kesehatan, pendidikan, pekerjaan, bahkan jumlah anak dibatasi tidak boleh lebih dari dua (CNN 2014).

Dimana moral Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Muslim? Bagaimana pula penanganan yang lebih manusiawi terhadap Rohingya, apakah tidak akan sama dengan pengungsi dari Vietnam? Mengapa Jakarta serta merta menolak untuk mengulang pola penanganan manusia perahu seperti di era 1970-an?.

Ini adalah saat dimana moral dan kemanusiaan digugat, meskipun Australia --negara yang dulu juga menerima banyak pengungsi Vietnam-- sekarang telah berubah 180 derajat dibandingkan dengan kebijakan mereka dahulu.

PM Australia Tony Abbott merasa strategi membalikkan arah perahu-perahu ke arah mereka datang adalah yang paling tepat. Ia menilai manusia-manusia perahu ada dan tersiksa di lautan akibat praktik perdagangan manusia yang masih saja merajalela.

"Selama pedagang manusia masih ada, akan terus ada kematian di laut. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan kematian di laut adalah dengan menghentikan perahu itu dan artinya --saya harus bilang-- dengan membalikkan ke arah mereka datang," ujar Abbott seperti dilansir dari harian The Australian (18/5).

Tapi apakah ini berarti membiarkan ribuan pengungsi yang dijuluki beberapa media sebagai "manusia tidak diinginkan" itu kembali ke negeri yang membantai dan mengabaikan hak-hak mereka sebagai manusia?.

Ketika melihat anak kecil mengamen di pinggir jalan Jakarta, sebagian akan mencoba untuk mengajak mereka pulang ke rumah kita sebab kita yakin nasib mereka bisa menjadi lebih baik bila tidak mengamen di tengah jalan hingga malam.

Namun anak-anak itu akan kabur meninggalkan kita karena ada orang-orang jahat yang mengawasi lekat mereka agar tetap menghasilkan banyak uang untuk jaringan pengeksploitasi anak jalanan.

Tapi kali ini adalah Rohingya, anak yang dibuang oleh ibundanya Myanmar, dan sedang mencari orang tua baru. Sekitar 80 persen orang Indonesia adalah Muslim, sama-sama bersyahadat dengan dua kalimat kesaksian yang sama. Sudikah Indonesia menerima Rohingya sebagai "anak angkat"?.

Pertanyaan-pertanyaan itu bukan untuk dijawab tanpa pertimbangan. Tentu saja Myanmar tidak boleh lepas tangan soal Rohingya.

"...tidak adil kalau yang disalahkan adalah Indonesia, Malaysia, dan Thailand semata. Myanmar dan Bangladesh tidak bisa lepas tangan," tulis mantan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono di akun Twitter dua hari lalu (16/5).

Kembali pada pertanyaan, bila pun ASEAN berunding mencarikan solusi bagi Rohingya, akankah Indonesia memberikan perlakuan yang sama terhadap pengungsi Rohingya sebagaimana pengungsi Vietnam dulu?

Oleh Ella Syafputri
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015