Jakarta (ANTARA News) - Berita dugaan peredaran beras sintetis di Indonesia dinilai meresahkan masyarakat, sehingga pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk menghentikannya, kata Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.

Muhaimin dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, mengatakan, terduga pelaku dan pemasok beras sintetis itu harus diproses secara hukum, karena mayoritas penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok.

"Perbuatan para pemasok dan penjual beras sintetis sangat menyinggung rasa kemanusiaan. Mereka mencari keuntungan dari kesengsaraan dan penderitaan orang lain. Pihak kepolisian harus segera menindak dan menjerat pemasok dan penjual beras sintetis itu dengan hukuman yang seberat-beratnya," katanya.

Menurut pria yang akrab disapa Cak Imin itu, peristiwa seperti ini tidak perlu terjadi jika harga beras tidak melambung tinggi. Masyarakat pun tidak akan mudah teriming-iming membeli beras dengan harga murah dan tidak berkualitas. Kewaspadaan masyarakat pun dengan sendirinya semakin meningkat.

"Masyarakat tidak akan mudah tergoda dengan harga murah. Kalau harga beras di pasar memang sudah benar-benar murah dan memiliki kualitas baik. Kenyataanya sekarang harga beras tinggi," ujarnya.

Muhaimin berharap masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati dalam membeli beras. Perhatikan secara seksama seluruh imbauan para pakar dan ahli beras terkait perbedaan beras sintetis dan beras biasa sebelum membelinya.

Menurut para pakar, sebelum membeli beras, pegang dulu berasnya, apakah agak kasar atau licin. Kalau licin, dapat dipastikan beras tersebut adalah beras sintetis, ujarnya.  

Muhaimin mengingatkan agar memperhatikan secara fisik beras yang akan dibelinya. Apakah beras itu putihnya bening atau sedikit berkeruh. Karena, beras yang berwarna putih keruh merupakan beras asli yang berasal dari gabah.

"Perhatikan juga tumpukan beras itu, kalau semuanya utuh tanpa ada patah-patah, maka itu beras palsu atau sudah diproses sesuai dengan yang dikatakan pakar," katanya.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015