Situasi ini serius."
Jenewa (ANTARA News) - Sekitar 3.000 kasus penyakit kolera dilaporkan telah terjadi di Tanzania, terutama di antara para pengungsi Burundi yang melarikan diri karena pergolakan politik, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jumat, sekaligus menambahkan bahwa terdapat 400 kasus baru terhitung setiap harinya.

Sejauh ini, 31 orang telah meninggal akibat penyakit yang ditularkan melalui air tersebut di daerah sekitar barat kota perbatasan Kaguna, Tanzania, yang dibanjiri pengungsi, kata badan pengungsi PBB, UNHCR, lapor AFP.

Semua korban meninggal, kecuali dua di antaranya, merupakan pengungsi Burundi, dan sebagian besar adalah anak-anak.

"Situasi ini serius," kata Paul Spiegler, ahli medis utama di badan pengungsi PBB, kepada wartawan.

Di Kaguna, kota perbatasan Tanzania dan Burundi, di tepi Danau Tanganyika, lebih dari 50.000 pengungsi berjuang dalam kondisi memprihatinkan.

"Jumlahnya meningkat 300 hingga 400 kasus baru per hari, khususnya di Kaguna dan sekitarnya," kata juru bicara UNHCR Adrian Edwards.

"Pada tingkatan ini, kasus lebih lanjut diperkirakan akan kembali muncul lagi selama beberapa hari berikutnya sampai situasi bisa benar-benar dikendalikan," katanya, menambahkan bahwa UNHCR telah bekerja dengan Kementerian Kesehatan Tanzania dan organisasi kemanusiaan lainnya untuk menghentikan wabah tersebut.

Kolera ditularkan melalui air minum yang terkontaminasi, dan UNHCR mengatakan bahwa kepadatan penduduk dan kondisi yang tidak sehat di Kaguna, serta konsumsi air langsung dari danau, dipercaya telah memicu wabah.

UNHCR dan mitranya sedang berjuang untuk memindahkan pengungsi dari Kaguna, yang terletak di semenanjung sempit yang dikelilingi pegunungan curam, menuju Provinsi Kigoma di sebelah barat, tempat kamp pengungsi Nyanrugusu berada.

Mereka dipindahkan dengan menggunakan kapal dan bus, atau dengan berjalan kaki.

Mengingat risiko memindahkan pengungsi yang terjangkit kolera, Spiegler mengatakan bahwa "kepadatan mengerikan" di Kaguna membuat organisasi-organisasi kemanusiaan menyerukan bahwa lebih banyak orang akan mati jika mereka tinggal diam di sana.

"Kami memperkirakan hal yang, sayangnya, lebih buruk," katanya, menambahkan bahwa UNHCR berharap untuk memindahkan pengungsi dalam seminggu.

UNHCR dan mitra-mitranya juga mengajukan permohonan kepada donor pada Jumat sebesar 207 juta dollar AS sebagai respon terhadap krisis Burundi yang telah memicu aliran pengungsi.

Sejak awal April, sekitar 100.000 orang telah melarikan diri dari Burundi ke negara-negara tetangga, terutama menuju Tanzania, dan Edwards memperkirakan angka tersebut akan meningkat dua kali lipat dalam enam bulan ke depan.

Angka tersebut muncul setelah pengunjuk rasa antipemerintah melanjutkan gerakannya di Burundi pada Jumat, melakukan perlawanan terbuka terhadap upaya polisi untuk mengakhiri demonstrasi yang berlangsung berminggu-minggu.

Setidaknya dua pengunjuk rasa ditembak mati dan delapan lainnya terluka dalam bentrokan dengan polisi pada Kamis, menurut Palang Merah, korban terbaru dari kerusuhan, yang dipicu oleh upaya Presiden Pierre Nkurunziza untuk maju dalam pemilihan untuk masa jabatan ketiga, yang menewaskan lebih dari 20 orang.

Krisis Burundi, yang dimulai pada akhir April setelah partai berkuasa menunjuk Nkurunziza untuk mengikuti pemilihan presiden pada Juni, yang kemudian diperparah pekan lalu ketika seorang jenderal gagal melakukan kudeta.

(Uu.R031/T008)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015