Saya punya keterikatan dengan Bali, punya memori, punya bayangan indah tentang Bali."
Jakarta (ANTARA News) Sebanyak 51 foto menampilkan potrait lintas generasi dan profesi dalam satu suara, menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali, pada pameran foto bertajuk Laut Luka Blues.

Mereka memegang kertas putih yang bertuliskan seruan hati akan rencana proyek uruk laut seluas lebih kurang 800 hektar di wilayah Teluk Benoa yang diabadikan oleh fotografer Kantor Berita Antara Ismar Patrizki.

Bagi Ismar proyek itu adalah panggilan hati. Lulusan jurusan Antropologi Universitas Udayana, Denpasar, Bali, itu telah lama gusar mendengar rencana proyek reklamasi Teluk Benoa yang digaung-gaungkan untuk kemajuan Pulau Dewata.

"Saya punya keterikatan dengan Bali, punya memori, punya bayangan indah tentang Bali," kata Ismar pada acara pembukaan pameran foto "Laut Luka Blues" di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), Jumat malam (22/5).

Ia menimpali, "Saya belum tahu nanti reklamasinya seperti apa, tetapi yang sudah-sudah, reklamasi membawa dampak yang kurang baik."

Sudah hampir tiga tahun ini penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa digaungkan.

"Tetapi, entah mengapa seperti hanya lirih terengar di telinga penguasa," kata Ismar, yang telah sepuluh tahun menjadi jurnalis foto itu.

Ia pun lalu memutuskan untuk memotret sosok dari berbagai latar belakang. Perjalanannya pun tidak mudah, selain melakukan riset, ia harus melakukan pendekatan dan komunikasi tentang bagaimana orang-orang tersebut menilai rencana reklamasi Teluk Benoa.

"Saya memutuskan untuk memotret bagaimana orang-orang menyuarakan pendapatnya. Harapannya, akan tercipta solusi terbaik untuk Bali, alam terjaga, budaya ajeg, semua pihak bisa menerima," tutur Ismar.

Selain itu, ia menyatakan, "Semoga ini bisa menjadi masukan untuk mempertimbangkan pembangunan yang baik."

Suara penolakan

Sebanyak 51 foto karya Ismar itu merupakan simbol dari angka Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 51/2014 yang ditandatangani Presiden RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono.

Pepres tersebut menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi perairan dalam Pasal 55 ayat 5 Pepres Nomor 45/2011.

Pepres tersebut juga mengubah kawasan perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga sehingga perairan Teluk Benoa dapat direklamasi.

"Tanpa reklamasi, Bali baik-baik saja. Tidak ada reklamasi yang positif yang kita lihat manfaatnya. Reklamasi dimana pun tidak boleh terjadi termasuk di Benoa. Acara ini untuk kita menyuarakan gerakan dari suara minoritas," kata kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Oscar Motuloh.

Ia pun menuturkan, "Suara harus diungkapkan. Pers, dalam hal ini Kantor Berita Antara memperjuangkan suara-suara kecil itu. Yang dilakukan Ismar untuk membuka wahana kita dalam dunia alam demokrasi, dimana perbedaan adalah hal lumrah."

Dalam salah satu foto karya Ismar, kalimat "Bali Tolak Reklamasi" tertulis di tubuh pelukis I Made Muliana "Made Bayak".

Ungkapan yang telah lama mereka serukan namun belum menyentuh pemimpin bangsa ini. Musisi dan juga aktivis asal Bali, Jerinx, mengungkapkan bahwa modal mereka hanya sebuah semangat.

"Perjuangan ini telah berlangsung hampir tiga tahun. Kami hanya punya satu rumah, Bali, maka kami tidak akan menyerah. Kami akan konsisten. Selama kami masih bernafas, kami akan terus mempertahankan tanah kami," kata pemain drum band Superman is Dead itu.

Sementara Ismar memilih caranya sendiri, sebuah karya foto yang digarap sejak Desember 2014. Langkah Ismar diapresiasi Direktur WALHI Nasional Abetnego Tarigan sebagai visualisasi yang begitu kuat.

"Visualisasi dari ekspreksi itu menjadi penting dalam bentuk naratif. Ini menjadi menarik. Satu sisi kami apresiasi ini sebagai suatu keberanian," kata Abetnego.

Ia pun berharap agar karya-karya foto Ismar dapat menggugah pemerintah agar berani mengoreksi keputusan dari pemerintah sebelumnya.

"Reklamasi mengubah bentang alam yang akan mempengaruhi ekosistem di dalamnya. Ancamannya tidak hanya di kawasan yang direklamasi tetapi juga di wilayah yang menjadi sumber material reklamasi. Dampaknya begitu luar biasa," jelas Abetnego.

Ia menambahkan dengan bertambahnya luas Pulau Bali, masalah lainnya menanti yakni pemenuhan kebutuhan air serta perubahan arus laut.

Contoh nyata dari adanya reklamasi, lanjut Abetnego, adalah apa yang terjadi di Pantai Indah Kapuk, di Jakarta, yang dampaknya saat ini sudah terasa.

"Sekarang, Jokowi berani atau tidak? Karena, 'bola' kini ada padanya," ujar Abetnego.

Oleh Monalisa
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015