Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim menolak keberatan Bupati Bangkalan periode 2003-2013 dan Ketua Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bangkalan 2014-2019 Fuad Amin dalam kasus korupsi penyaluran gas alam.

"Menyatakan keberatan penasihat hukum H Fuad Amin tidak dapat diterima. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk mengadili perkara Fuad Amin," kata ketua majelis hakim Mochommad Muchlis dalam sidang dengan agenda mendengarkan putusan sela di gedung pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Tim penasihat hukum Fuad Amin sebelumnya sudah mengajukan dua keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK.

Keberatan pertama adalah bahwa Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang membawahi pengadilan Tipikor Jakarta tidak berwenang mengadili Fuad karena sebagian besar saksi sebanyak 313 orang saksi berdomisili di wilayah hukum pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya. Sebaliknya, hanya 5-6 orang saksi yang berdiam dan tinggal di wilayah hukum pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

"Terhadap keberatan tersebut, majelis tidak sependapat karena bila terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam pengadilan negeri, masing-masing Pengadilan Negeri berwenang mengadili, dan bisa dibuka kemungkinan masing-masing mengadili perkara dan bisa dengan menggabungkan perkara," kata hakim Moch Muchlis.

Menurut hakim, setidaknya ada 5 perbuatan tindak pidana dalam perkara Fuad yang terjadi di wilayah pengadilan Tipikor Jakarta.

"Karena perbuatan-perbuatan pidana yang didakwakan berada di wilayah pengadilan Tipikor Jakarta yang merupakan bagian dari tindakan yang didakwaan jaksa penuntut umum," tambah hakim Muchlis.

Keberatan kedua, bahwa penyidik dan jaksa penuntut umum KPK tidak berwenang untuk memeriksa dan menuntut perkara tindak pidana pencucian uang yang dilakukan sebelum berlakunya UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait dakwaan kedua.

"Majelis tidak sependapat dengan keberatan tersebut karena berdasarkan pasal 75 dan pasal 95 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yaitu dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK dan pasal 95 yang menyatakan TPPU yang dilakukan sebelum berlakunya UU ini, diperiksa dan diputus dengan UU No 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No 15 Tahun 2002 tentang TPPU," ungkap hakim Muchlis.

Sehingga menurut hakim, penyidik atau penuntut umum KPK dapat melakukan TPPU sebelum diundangkannya UU No 8 tahun 2010 dengan diberikannya kewenangan penyidik untuk menyidik TPPU dengan menggabungkan pidana asal.

"Keberatan tim penasihat hukum yang menyatakan penyidik dan PU KPK tidak berwenang menyidik dan menutut TPPU sebelum berlakukan UU 8 tahun 2010 tidak beralasan hukum dan haruslah ditolak," tegas hakim Muchlis.

KPK mendakwa Fuad melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Pada tindak pidana korupsi, Fuad diduga menerima Rp18,05 miliar dari PT Media Karya Sentosa (MKS) karena telah mengarahkan tercapainya perjanjian konsorsium dan perjanjian kerja sama antara PT MKS dan PD Sumber Daya serta memberikan dukungan untuk PT MKS kepada Kodeco Energy CO LTd terkait permintaan penyaluran gas alam ke Gili Timur.

Dalam dakwaan kedua, Fuad diduga menyamarkan hartanya pada periode 2010-2014 sejumlah Rp229,45 miliar dan dalam dakwaan ketiga adalah pencucian uang pada periode periode 2003-2010 hingga senilai Rp54,903 miliar.

Hakim pun memerintahkan agar jaksa KPK mulai menghadirkan saksi dalam sidang selanjutnya yaitu pada Kamis, 28 Mei 2015.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015