Lirboyo (ANTARA News) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menolak adanya tuduhan pesantren sebagai sarang teroris berjubah agama. Hal itu dinilainya sebagai generalisasi yang tidak berdasar, bahwa adanya satu dua terdakwa kasus teror yang merupakan alumni pesantren tertentu, lalu dianggap mewakili seluruh santri pesantren.

“Tuduhan itu jelas salah. Faktanya, penguasaan ilmu keislaman yang komprehensif sebagaimana diajarkan pesantren, telah membuat para alumninya justru menjadi banteng pertahanan atas bahaya terorisme,” tegas Menag saat memberikan sambutan pada Penutupan Musyawarah Nasional III Himpunan Alumni Santri Lirboyo (Himasal) dan Rakernas Lembaga Ittihadul Muballighin (LIM) di Pesantren Lirboyo, Kediri, Senin (25/5) malam.

Hadir pada kegiatan yang mengambil tema “Menjalin Ukhuwwah Demi Berkhidmah untuk Umat dan Bangsa”, para Pengasuh dan Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Jakfar, Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur, para pengurus cabang Himasal seluruh Indonesia, serta ribuan alumni dan santri Pesantren Lirboyo.

Menurutnya, hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menunjukan bahwa ada hubungan yang erat antara penguasaan ilmu keagamaan dengan penghindaran tindakan kekerasan atas nama agama. Artinya, lanjut Menag, semakin mendalam pengetahuan keagamaan seseorang, maka dia akan semakin menghindar untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama.

Sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai dan wawasan keagamaan, pesantren mempunyai posisi strategis dalam memberikan pemahaman terkait hal ini kepada masyarakat. Karenanya, kepada para alumni pesantren Lirboyo yang tergabung dalam Himasal, Menag berharap dapat memberikan penjelasan terkait kehidupan dan pendidikan pesantren sehingga publik tidak menjadi salah paham.

Menag menambahkan bahwa pesantren  merupakan lembaga keagamaan Islam yang khas Indonesia. Menurutnya, kita akan sulit mendapati lembaga pendidikan seperti pesantren di belahan dunia lain. Di antara keragaman pesantren yang begitu besar, Menag melihat setidaknya ada tiga ciri utama pesantren:

Pertama, setiap pesantren mengajarkan paham Islam yang moderat, wasathiyah, serta tidak tatharruf atau ekstrim. “Setiap pesantren di Indonesia selalu mengembangkan paham Ahlussunah wal jamaah,” jelas Menag.

Kedua, setiap pesantren mengajarkan kepada santrinya untuk berjiwa besar. Dalam melihat pandangan yang beragam dan tidak tunggal, para santri terbiasa melihat segala persoalan secara komprehensif, tidak hanya dari satu perspektif saja. “Santri punya jiwa besar dalam melihat perbedaan yang ada. Ini juga implikasi dari paham yang moderat sehingga tidak mudah menyalahkan atau bahkan mengkafirkan paham yang berbeda dengan dirinya,” terang Menag disambut tepuk tangan hadirin.

Menag lalu menyitir sebuah ungkapan yang akrab ditelinga santri pesantren: “Ra’yi shawaabun yahtamilul-khatha’ wa ra’yu ghaairi khathaun yahtamilus-shawab” (pendapatku adalah benar, tapi juga  mengandung kesalahan, sedang pendapat selainku itu salah tapi juga mengandung kebenaran). Menurut Menag, ungkapan seperti ini merupakan cara bagaimana kebenaran tidak dimonopoli oleh diri sendiri.

“Mesti kita yakin dengan kebenaran itu, masih ada ruang pada orang lain untuk mempunyai kebenaran pada dirinya,” tutur Menag seperti dikutip kemenag.go.id, Selasa.

Sedangkan ciri pesantren yang ketiga adalah cinta Tanah Air. Rasa cinta ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keindonesiaan, dan merupakan refleksi dari hubbul wathan minal iman.

“Ulama dulu menanamkan bahwa hanya di bumi yang rukun dan damai, maka syariah Islam bisa dijalankan, kita bisa ibadah, hablum-minallah dan hablumminan-nas bisa optimal. Karenanya, membela Tanah Air tidak bisa dipisahkan dari kadar keimanan seseorang,” jelasnya. 

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015