Jakarta (ANTARA News) - Tiga puluh tujuh tahun silam, tujuh pemuda dari Universitas Indonesia ini dikenal berkat lomba vokal grup pada salah satu radio yang mereka ikuti.

Ketujuhnya merangkum diri ke dalam "Chaseiro", sebuah grup vokal yang tak lain tersusun dari inisial nama mereka.

Candra Darusman (vokal, kibor, gitar), Helmie Indrakesuma (vokal), Aswin Sastrowardoyo (vokal, gitar), Edi Hudioro (flute), Irwan Indrakesuma (vokal), Rizali Indrakesuma (vokal, bas), dan Omen Soni Sontani (vokal) masing-masing menyumbang satu huruf pada nama "Chaseiro", kecuali dua huruf pertama dari nama Aswin.

"Berteman hampir 38 tahun, sudah seperti saudara," kata Edi pada jumpa pers penyelenggaraan konser tunggal "Semangat Jiwa Muda".

Tujuh kepala bersama dalam sebuah grup membuat mereka sering berselisih pendapat, sampai bosan kalau Edi bilang.

Saling menjaga ego masing-masing adalah  kunci mereka bertahan bersama hingga kini.

Mereka memang  pernah "tidur panjang", tapi tidak pernah bubar.

"Kalau pun enggak menelurkan album, kami masih kumpul untuk berlatih," kata Omen.

Berbagai pengalaman telah mereka alami bersama, seperti saat manggung di Tasikmalaya dengan piano yang tidak "tune".

Tujuan yang sama menghasilkan karya menjadi kunci lain yang membuat mereka sukses meredam ego masing-masing, sampai kini.

Kali ini Irwan yang menerangkan, "Karena satu tujuan, kebersamaan, saling menghargai, menghormati."

"Kalau enggak berantem, enggak akrab," tambahnya.

Lain lagi pendapat Omen. Menurut dia, mereka bisa terus bersama selama hampir 40 tahun karena tujuh lelaki ini seperti memahami dalam-dalam filosofi sebuah grup vokal.

Berangkat dari latar belakang mereka sebagai grup vokal, harmoni suara bisa muncul ketika tidak ada satu suara yang menonjol.

"Bisa muncul kalau kompak," kata dia. Jelas ini tak hanya melukiskan keharmonian suara, namun juga harmoni sosial dari tujuh kepala dalam grup vokal ini.

Cerita lagu "Pemuda"

Chaseiro, yang pada 2013 kehilangan Helmie Indrakesuma, dikenal lewat lagu berjudul "Pemuda" keluaran tahun 1979.

"Bersatulah semua, seperti dahulu. Lihatlah ke muka, keinginan luhur kan terjangkau semua..." begitu salah satu penggalan lagu mereka itu.

Candra yang menulis lagu tersebut mengatakan inspirasi dapat datang dari mana saja, tidak terduga.

"Lagu itu harus lahir sendiri, tidak dijahit," kata Candra yang kini tinggal di Singapura dan khusus berada di Jakarta untuk konser.

Ia mendapat ilham lagu itu dari situasi tahun 1978 saat mahasiswa bergejolak memprotes pemerintah.

Candra sendiri melihat situasi itu sebagai ladang adu domba para wartawan.

"Awalnya (lagu) itu untuk wartawan, tapi karena mitra artis, enggak jadi, hahaha," candanya.

Candra akhirnya menggantinya menjadi "Pemuda" agar lagu tersebut diterima khalayak lebih luas.

Lagu tersebut pun direkam dan masuk album pertama mereka yang juga dijuduli "Pemuda" (1979).

Tampil bersama sejak 1978, menghasilkan karya, bagi Chaseiro, adalah bentuk sumbangsih mereka sebagai musisi dan penampil dalam dunia seni.

"Tidak menelurkan album, kami masih berkumpul untuk berlatih," kata Omen.

Profesi mereka yang beragam, Rizali menjadi Duta Besar Indonesia untuk India, Aswin dokter, dan Candra bekerja pada World Intellectual Property Organization cabang Singapura, mengharuskan mereka menyusun jadwal latihan, terutama untuk konser kali ini, yang sudah direncanakan jauh sebelumnya agar pekerjaan tidak terbengkalai.

Selama bermusik, Chaseiro membuat tujuh album. Yang terbaru keluar tahun lalu berjudul "Retro 2".

Gali inspirasi

Hampir 40 tahun berada di dunia musik Indonesia, Chaseiro memuji keberagaman musik generasi sekarang.

Banyak tema yang bisa digali untuk membuat lagu, mulai dari kemanusiaan, persaudaraan, hingga lirik yang memicu pikiran positif di tengah permasalahan yang ada di dunia.

"Jangan terjebak tema cinta," saran Candra yang mengaku tidak mempunyai kebiasaan khusus ketika membuat karya.

Ritualnya, lanjut Candra, menambah wawasan dengan banyak membaca dan menonton pertunjukan.

Jangan lupa, pendidikan juga memegang peran penting dalam menambah wawasan seorang musisi.

Bagi Candra, pendidikan bukan melulu di sekolah, tetapi juga bagaimana musisi memperhatikan lingkungan sekitarnya untuk belajar.

"Lihat bagaimana orang membuat suatu pertunjukan, berkolaborasi, menulis lirik, tampil," kata dia.

Bagi Candra, tidak ada karya yang 100 persen asli karena saat berkarya seseorang pasti menyerap pengaruh dari apa pun yang ia perhatikan.

Seorang musisi juga perlu mendengarkan musik di luar genrenya sehingga tidak ada salahnya, misalnya, seorang pecinta jazz mendengarkan musik klasik atau dangdut.

"Warna aslimu akan berkembang, masuk ke wilayah yang baru dengan tetap mempertahankan warna aslinya."

Chaseiro tidak mengkhawatirkan bakat dan regenerasi musik Indonesia karena mereka menyaksikan begitu banyak bakat dan warna di masa sekarang.

"Musik Indonesia berhasil mendekatkan diri ke masyarakat dan mendapat tempat," kata Candra.

Berkarya tidak mengenal batas usia, dan mereka ingin terus bergerak bersama musik, karena bagi mereka musik adalah "kegiatan yang menghidupkan seseorang, baik yang dengar maupun yang main."

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015