Batam, Kepulauan Riau (ANTARA News) - Langit dini hari pukul 01.30 WIB hitam pekat bertabur jutaan bintang yang seakan berada di atas kepala mengiring pompong (kapal kayu bermotor) bergerak pelan melintasi Lautan Natuna, menuju Pulau Laut.

Pompong yang berpenumpang tujuh orang dewasa dan dua anak kecil itu beranjak dari Pelabuhan Tanjung, Pulau Bunguran, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau saat dini hari, sebetulnya kapal ikan. 

Namun, kapal tersebut juga acap membawa penumpang jika ada yang membutuhkan tumpangan dari dan ke Pulau Laut, pulau yang berada di perbatasan NKRI dengan Vietnam dan Malaysia.

"Lautan teduh, kita berangkat dini hari, besok pagi sampailah," ujar Sabrin (51) nakhoda pompong saat usai menaikkan penumpang dan dua motor yang akan diangkut ke Pulau Laut.

Selain itu terlihat ada juga tumpukan beberapa keping papan, lima karung beras, tiga karung gula, 10 kardus mie instan, tong ikan serta beberapa karung buah semangka.

Semua barang bangunan dan kebutuhan itu merupakan pesanan warga yang dibawa Sabrin ke Pulau Laut.

Selama delapan jam perjalanan dengan kapal kayu yang bergerak pelan akan terasa membosankan bagi orang yang ingin cepat sampai ke tujuan, namun bagi yang santai akan menikmati perjalanan dari gelap menuju terang, tidak akan membosankan karena sepanjang perjalanan banyak kejutan alam yang dapat dilihat.

Kelipan bintang dilangit pekat berangsur sirna seiring rona fajar diufuk timur. Perlahan bola mentari muncul dari sisi kiri pompong nun di kaki langit, seakan menyembul dari luasnya lautan nan biru.

Bola merah itu mempesona memancarkan warna jingga di kaki langit dan sangat kontras putihnya awan dan birunya langit serta birunya laut. 

Keindahan kemunculan sang mentari juga disambut dengan berselancarnya beberapa ikan, ada yang berselancar sendiri untuk ikan tuna dan juga ada ikan-ikan kecil yang terbang diatas air bergerombol dan dalam sekejab kembali ke dalam lautan.

Makin mendekati Pulau Laut yang bentuknya seperti orang sedang tidur telungkup, air laut terlihat berwarna hijau kosta, jernih. Sesekali terlihat penyu berenang.

Kejernihan air dan putihnya pasir di dasar laut makin terlihat jelas begitu memasuki perairan Tanjung Pala, ibukota Kecamatan Pulau Laut.

Pompong yang telah berlayar tiada henti akhirnya merapat di dermaga kayu yang terlihat sudah lapuk.

"Hati-hati melangkah kayunya sudah banyak lapuk dan pelantar berlobang," ujar Sailun, Sekretaris Desa Tanjung Pala yang ikut serta dalam pompong saat dari Pulau Bunguran mengingatkan para penumpang.

Ia mengatakan, dermaga yang terlihat amat pajang untuk mencapai perkampungan penduduk itu panjangnya sekitar 1.226 meter atau 1,2 kilometer. 

Dari 1,2 kilometer dermaga pelabuhan Tanjung Pala, sepanjang 800 meter dalam kondisi lapuk dan rusak berat sedangkan 426 meter telah dibangun permanen atas bantuan PNPM Mandiri dan CSR BP Migas.

"Jembatan ini dulu dibangun atas swadaya masyarakat, baru tahun kemarin ada bantuan PNMN, selama ini kami membangun sendiri fasilitas umum," ujar Sailun.

Ia berujar, pemerintah telah menetapkan Pulau Laut beserta tujuh pulau kecil yang berhampiran sebagai satu kecamatan yakni kecamatan Pulau Laut dan ditandai sebagai kawasan pulau terluar.

Diakuinya, pengakuan sebagai sempadan negeri telah lama disandang Pulau Laut, namun masyarakat di daerah itu belum merasakan nikmatnya menjadi kawasan beranda NKRI yang seharusnya lebih molek, lebih berseri dan lebih "menyerengah" (cantik-Red).

"Sebagai kawasan laman terdepan, seharusnya kami lebih dimajukan dengan cara dipersolekkan lagi agar lebih cantik bukannya dipersulit," ungkap ayah dua anak gadis itu dengan tutur Melayunya.

Dipersolek maksudnya lebih dipercantikkan, lebih diperhatikan dan lebih diutamakan agar orang yang datang melihat menjadi senang dan suka.

Namun, lanjut dia, niat pemerintah menabalkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan hanyalah sebagai pertanda atau batas negeri saja, namun untuk membangun daerah terdepan sampai saat ini masih belum dirasakan masyarakat.

Sailun tidak hanya mencontohkan ketidaklayakan jembatan pelabuhan yang panjangnya lebih dari 1,2 kilometer tapi juga ketidakberdayaan listrik di daerah yang berpenduduk sekitar 3.000-an jiwa atau 860 kepala keluarga itu untuk dapat hidup 24 jam.

"Listrik di daerah kami lebih banyak mati daripada hidupnya. Padahal listrik adalah motor pengerak utama ekonomi masyarakat. Jika listrik dapat hidup 24 jam bukan tidak mungkin daerah kami ini amat maju," ungkap Sailun.

Ia mengatakan, perusahaan listrik desa dikelola oleh perusahaan daerah dengan satu mesin berdaya rendah yang harus melayani dua desa yakni Desa Tanjung Pala dan Desa Kadur. Listrik hanya hidup dari pukul 18.00 Wib hingga pukul 23.00 Wib.

Menurut dia, telah berulangkali mengusulkan ke pemerintah daerah kabupaten dan provinsi bahkan bertemu langsung dengan Gubernur Kepri agar kecamatan tersebut disediakan listrik yang hidup normal serta adanya pelabuhan yang layak, jalan beraspal, jaringan komunikasi, transfortasi laut dan ketersediaan air bersih.

Namun, katanya, usulan demi usulan untuk memartabatkan kawasan sempadan negeri itu hanya tinggal dalam bentuk kertas musrenbangda (musyawarah rencana pembangunan daerah) tanpa ada realisasi dari tahun ke tahun.

"Tiap kali musrenbangda kita sampaikan. Menghadap presiden aja kami belum," ungkap Sailun.

Menurut dia, Pulau Laut disinggahi Kapal Perintis dan Pelni, namun ketiadaan pelabuhan menyebabkan naik turun penumpang dilakukan ditengah laut. Kadang kapal lego jangkar tengah malam buta dan ditengah lautlah bongkar muat barang dan penumpang. Kondisi tersebut sangat rawan dan membahayakan keselamatan.

"Acap juga terjadi tidak hanya barang bawaan penumpang yang jatuh ke laut dalam tapi juga penumpangnya," tutur dia.

Ia mengatakan sudah menjadi tradisi alam di daerah lintasan samudra luas itu saat musim utara masyarakat tidak dapat keluar dari pulau karena tingginya gelombang laut.

"Saat musim utara gelombang terendah hanya 4-5 meter. Selama lebih kurang 4 bulan dari November hingga akhir Februari kami berkurung di pulau," kata Sailun.

Sejarah telah mencatat bahwa pulau yang dulu diakui sebagai wilayah yang berada di perairan Laut Cina Selatan itu telah dikenal luas sebagai pulau persinggahan para pendatang asing dari berbagai bangsa di dunia. 

Bukti tersebut hingga kini terdapat di Pulau Laut tidak hanya dihuni suku Melayu tapi suku lain di Tanah Air serta suku bangsa Portugis, India dan China.

"Asimilasi berbagai suku bangsa itulah yang kini menghuni Pulau Laut," ujar Abdul Muin (66) seorang budayawan Natuna yang bermastautin di Sedanau.

Ia mengatakan, dari Pulau Lautlah mengalir sejarah kehidupan tidak hanya seni budaya, agama tapi juga ekonomi ke kawasan lainnya di Natuna.

Perjalanan sejarah Pulau Laut yang melahirkan budaya di pulau-pulau lain di hamparan Laut China Selatan belum dapat menjadi anggunan kemajuan daerahnya yang hingga kini masih gelap gulita dan sulit dijangkau karena ketiadaan transfortasi yang memadai.

Walau, pesona alam Pulau Laut sangat molek namun ia tetaplah sebuah sempadan negeri yang masyarakatnya hidup rukun, tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi dan masih terisolasi.

Oleh Evy Syamsir
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015