Sekarang, semua orang bisa jadi bintang,"
Jakarta (ANTARA News) - Seperti halnya zaman, musik Indonesia pun berkembang dari masa ke masa. Berbagai hal mempengaruhi warna musik yang digandrungi, termasuk kondisi sosial dan politik pada masa itu. Seperti ditulis Denny Sakrie dalam buku "100 Tahun Musik Indonesia, cikal bakal sejarah industri musik di Tanah Air dapat dilihat dari era kolonialisme Hindia Belanda".

Awal 1900an, muncul para pengusaha rekaman yang didirikan saudagar keturunan Tionghoa, salah  satunya adalah Tio Tek Hong yang memiliki toko di Pasar Baru. Saat itu, Tio Tek Hong memproduksi musik lewat piringan hitam alias plaatgramofoon. 

Tio Tek Hong memproduksi karya dari beberapa penyanyi dan klompok musik seperti Orkest Kerontjong Park, Orkest Moeridskoe, Kerontjong Sanggoeriang, Kerontjong Aer Laoet dan Kerontjong Deca Park.

Perusahaan Tio Tek Hong juga merekam dan meluncurkan piringan hitam  "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya pada 1929. Piringan hitam tersebut memperdengarkan suara penyanyi pria bersuara tenor yang diiringi orkes dan laris terjual untuk kalangan atas.

Pada 1950an, lagu asing berbahasa Inggris dilarang diputar di Indonesia karena Presiden Sukarno khawatir budaya bangsa akan terkikis oleh budaya barat. Pada 1959, pemerintah memastikan Radio Republik Indonesia tidak memutar lagu yang disebut Sukarno "ngak ngik ngok" , seperti rock and roll, cha cha, tango dan mambo.

"Jadi akhirnya musisi indonesia bermain lenso, lagu daerah, diramu dengan irama khas Indonesia," kata pemilik Kineruku, perpustakaan swasta penyedia referensi seperti buku, CD musik, dan film, Budi Warsito.

Para musisi terkemuka diajak menggarap lagu-lagu berirama lenso, seperti Jack Lesmana, Idris Sardi, Bing Slamet, Nien Lesmana dan Titik Puspa. Sukarno bahkan membawa para seniman musik yang digabungkan dalam proyek The Lensoists dalam lawatan ke Amerika Serikat dan Eropa pada 1964-1965.

Selain itu, pada era itu muncul juga kompetisi pencari bakat di bidang tarik suara, yakni Bintang Radio yang digagas Radio Republik Indonesia. Kompetisi ini berkembang menjadi Bintang Radio dan Televisi setelah RRI bekerjasama dengan TVRI dan melahirkan sejumlah talenta seperti Harvey Malaiholo, Rafika Duri dan Sundari Soekotjo.

Setelah Orde Lama tumbang, pengaruh musik dari barat yang awalnya dilarang mulai masuk deras seperti keran yang baru saja dibuka.

"Banyak musik Indonesia yang mulai berbau barat, misalnya rock psikedelik dan rock progresif," imbuh Budi.

Salah satu band yang sangat berpengaruh saat itu, bahkan hingga saat ini, adalah The Beatles. 

Anak muda di Jakarta pun berkiblat kepada band-band Inggris dan Amerika. Pengaruhnya juga terlihat pada pemilihan nama band yang menggunakan bahasa Inggris atau ejaannya dibuat seperti ejaan barat. Sebut saja The Lords, The Flower Poetman dan Chekink.

Musik folk di Indonesia juga mulai masuk ke Indonesia pada era ini. Ada pula musik folk yang liriknya menyuarakan kritik sosial politik, seperti Kelompok Kampungan.

"Salah satu lagunya tentang Sukarno, langkah yang berani saat itu karena upaya pengkultusan Sukarno dicegah oleh Orde Baru," kata Budi.

Pada 1980an juga mulai muncul musik yang dilabeli sebagai pop kreatif, seperti Fariz RM, Dian Pramana Putra, Utha Likumahuwa dan Candra Darusman. 

"Untuk membedakan dengan pop cengeng yang liriknya picisan," imbuh dia.

Pop mendayu-dayu saat itu dipopulerkan oleh Rinto Harahap, Pance Pondaag dan Obbie Messakh.

Dekade berikutnya, genre pop meroket dan memunculkan nama-nama seperti KLa Project, Dewa, Slank dan Gigi juga penyanyi solo seperti Yuni Shara dan Oppie Andaresta serta kelompok vokal Rida Sita Dewi, Trio Libels dan AB Three.

"Di awal 90an industri musik mulai kuat, ada banyak band yang ga bisa dapat kontrak di major label, sehingga yang tidak bisa masuk major mulai bikin rekaman sendiri yang menjadi awal dari band indie," papar dia.

Menjelang akhir 90an, muncul juga kanal MTV yang menyajikan musik global dan turut mempengaruhi band-band indie Indonesia.

Era 2000an, ujar Budi, teknologi memungkinkan setiap orang mencari referensi musik dari berbagai sumber, termasuk tren masa lalu. 

"Lucunya, orang balik kembali ke belakang karena bisa ngulik rekaman lama zaman dulu," imbuh dia.

Menurut dia, tidak ada hal baru yang ditawarkan musik masa kini. Musik yang ada sekarang merupakan segala campuran dari musik yang pernah ada pada dekade-dekade lalu.


Dobrakan di dunia musik, misalnya seperti yang dilakukan The Beatles yang pengaruhnya terasa hingga kini, sulit untuk diulangi lagi. Upaya membuat sesuatu yang baru pernah dicoba oleh kelompok Guruh Gypsy yang menggabungkan musik rock dengan gamelan Bali pada 70an. Namun, hal seperti itu jarang terjadi.

"Sekarang susah membuat sesuatu yang murni baru, akhirnya yang ada oplosan dari unsur-unsur yang sudah ada. Dan oplosan itu dengan racikan tertentu jadi sesuatu yang seolah-olah baru," ujar Budi.

David Tarigan, salah satu pendiri label Aksara Records, mengutarakan pendapat yang senada. Campur aduk itu merupakan karakter dari musik masa kini.

"Zaman sekarang, polanya hampir seluruhnya konstruksi-konstruksi baru dari yang udah pernah ada," ujar David.

Membuat musik pun menjadi semakin mudah, berbagai referensi dapat dicari lewat internet, proses rekaman pun dapat dilakukan sendiri dengan software audio.
 
Bandingkan dengan segala kerepotan yang harus dilalui di masa lalu, di mana merekam lagu hanya bisa dilakukan di studio rekaman, atau ketika suara alat musik tidak dapat digantikan dengan software yang kini menjamur.

"Sekarang, semua orang bisa jadi bintang," ujar Budi.

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015