Jakarta (ANTARA News) - Tak kenal maka tak sayang. Mungkin pepatah itu bisa mewakili bagaimana relasi antara masyarakat luas dengan istri terduga teroris seperti tertuang dalam novel tulisan Abidah El Khalieqy, "Akulah Istri Teroris".

"Buku ini saya bikin karena merasa sastra mutakhir Indonesia belum pernah membicarakan tentang istri teroris. Kalau yang menulis soal teroris (laki-laki) sudah banyak," kata Abidah yang ditemui di Depok, Jawa Barat, Minggu (31/5).

Menurut dia, kisah istri terduga teroris adalah sesuatu yang menarik untuk ditulis karena tidak banyak yang tahu.

Cerita dimulai dengan kegamangan seorang perempuan menghadapi masa depannya yang berubah total sepeninggal suaminya.

Simak bagaimana penulis menggambarkan perasaan tokoh utama, Ayu, yang kehilangan keberaniannya dalam menghadapi hari-hari setelah mendapat predikat sebagai "istri teroris".

Kini aku hanya punya rindu. Dari balik kisi-kisi jendela rumah mungilku ini, aku memandang dunia dengan gamang dan disesaki rasa takut dan mimpi hitam yang berkepanjangan. Tiap mata yang melintas seakan pedang yang dihujamkan di dadaku, persis di jantungku.

Aku ingin menengok ke arah dua ibu yang tengah menguntitku dan menyapanya, namun nyaliku tertahan tak mampu keluar secara merdeka. Dulu sebelum suamiku ditembak aparat, jika ada bisik-bisik seperti itu, aku masih punya nyali untuk meresponnya secara bijaksana. Namun setelah Magrib yang naas itu, dunia menjadi berubah dalam pandangan mata dan hatiku.

Buku setebal 481 halaman terbitan Solusi Publishing itu memang berkisah seputar kehidupan Ayu setelah suaminya tewas ditembak aparat saat hendak menunaikan ibadah shalat Magrib, karena dianggap melakukan aktivitas sebagai teroris, yang belum pernah diketahui Ayu sebelumnya.

Dengan stigma yang terlanjur melekat --istri teroris-- perempuan beranak dua itu berusaha melanjutkan hidupnya bersama kedua anaknya, melupakan duka dan mengejar mimpinya yang sempat tertunda untuk menjadi sarjana.

"Saya ingin mengungkapkan kepada diri sendiri, masyarakat dan aparat bahwa istri teroris adalah manusia juga. Mereka manusia biasa di luar stigma yang diberikan oleh masyarakat," tambah Abidah yang acara diskusi bukunya di Tasikmalaya didemo dan dibubarkan massa sementara di Depok dibatalkan.

Melalui buku ini, lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu ingin menunjukkan bahwa ada anggota masyarakat yang diperlakukan secara dzalim hanya karena masyakarat tidak mengenalnya dengan baik.

Dalam novel tersebut, Abidah yang juga penulis "Perempuan Berkalung Sorban" itu menceritakan bahwa istri terduga teroris pun bisa galau, takut, bahkan jatuh cinta.

Misalnya saat Ayu akan menghadapi persidangan kasus suaminya.

Membayangkan maju sebagai saksi di sebuah persidangan, adalah mimpi buruk yang tak pernah kudoakan dalam seluruh munajat dan menit-menit hidup singkat ini. Mengapa kini aku mengalaminya. Bakal mengalami dan merasakannya. Merasakan duduk di kursi pesakitan di depan para hakim dan ditonton banyak orang.

Pasti akan banyak mata yang bakal melihat dan ingin tahu persidangan itu. Mass media akan meliputnya. Bapak-ibu juga mertua akan datang juga. Mungkin para tetangga dan jemaah mas Ardi akan berbondong pula memenuhi ruangan persidangan. Dan aku akan duduk di salah satu kursi di tempat itu sebagai saksi.

Sungguh gugup aku tak siap dengan kondisi yang sama sekali baru ini. Pikiranku masih terbawa oleh senyum menawan pak polisi tampan itu, namun kini dipaksa untuk memikirkan hal lain dan menjawab sejumlah pertanyaan yang aneh dan tak terpikirkan olehku sebelumnya.

Penulis juga bercerita bahwa predikat istri terduga teroris telah membuat Ayu  kebingungan karena putrinya mogok sekolah akibat oleh teman sekolahnya dibilang anak tukang bom.

Digambarkan pula bagaimana Ayu yang mengenakan cadar itu harus menghadapi pertanyaan, cibiran bahkan pelecehan karena caranya berpakaian yang "berbeda".

Dan karena ini buku fiksi, meskipun ada latar belakang kasus yang dianggap terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, buku ini juga dibumbui kisah romantis percintaan Ayu dengan polisi yang menangani kasus suaminya.


Riset

Untuk menulis buku ke-14-nya ini, Abidah mengumpulkan referensi melalui buku, televisi dan melakukan wawancara langsung dengan istri terduga teroris.

"Saya perlu melakukan riset khusus tentang istri teroris...dan melakukan riset langsung ke Poso. Di sana bertemu dengan beberapa sampel istri teroris yang harus diwawancara," kata Abidah yang dibantu Polda setempat untuk memudahkan pekerjaannya.

"Saya malah kemana-mana dikawal Brimob," katanya.

Dari riset tersebut, penulis peraih Anugerah Sastra dari Kemendikbud pada 2011 itu berkesimpulan bahwa ada tiga tipe istri teroris, yakni yang sama sekali tidak tahu bahwa suaminya terduga teroris; yang baru tahu suaminya teroris setelah ditembak aparat; dan yang mengetahui aktivitas suaminya sebagai terduga teroris.

Semua itu diketahui ketika melakukan riset di lapangan, kata Abidah yang berencana akan memfilmkan buku ini seperti juga "Perempuan Berkalung Sorban".

"Saya hanya ingin menunjukkan sisi-sisi manusiawi yang banyak tidak diketahui," katanya.

Oleh Fitri Supratiwi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015