Washington (ANTARA News) - Pemerintah Amerika Serikat mengakui, Kamis, bahwa peretas mengakses data pribadi setidak-tidaknya empat juta pegawai pemerintah federal, baik yang masih aktif maupun mantan, dalam serangan luas dunia maya, yang diduga berasal dari Tiongkok.

Sebagai akibat dari kejadian itu, yang terungkap pada April, Kantor Manajemen Kepegawaian mengatakan akan mengirimkan pemberitahuan kepada sekitar empat juta orang. Masih ada kemungkinan muncul pengungkapan tambahan.

Departemen kepegawaian pemerintah menangani ratusan ribu pengawasan keamanan yang sensitif serta penyelidikan latar belakang terhadap calon-calon pegawai setiap tahun.

Belum jelas apakah peretasan tersebut juga mempengaruhi Presiden Barack Obama, pejabat pemerintah senior lain ataupun masyarakat intelijen.

Harian Washington Post dan media-media AS lain mengutip pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa peretas Tiongkok berada di balik aksi tersebut.

FBI dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dikatakan akan memimpin penyelidikan. FBI dalam sebuah pernyataannya mengatakan "akan terus mengusut dan meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang menjadi ancaman di dunia maya."

Para pejabat menolak menyebutkan motif tindakan tersebut, namun meminta pihak-pihak yang terkena dampaknya untuk mengambil langkah-langkah mencegah penipuan dan pencurian identitas.

Pemerintah melalui pihak ketiga akan menawarkan 1 juta dolar AS untuk jasa perlindungan dari pencurian identitas tanpa biaya.

"Melindungi data karyawan pemerintah federal dari insiden dunia maya yang bermaksud jahat merupakan prioritas tertinggi kami," kata direktur Kantor Manajemen Kepegawaian Katherine Archuleta.

Pihaknya mengatakan aksi peretasan itu kemungkinan mulai terjadi sejak akhir 2014 dan "memangsa kendali keamanan yang lebih ketat," dan menambahkan bahwa mulai 8 Juni staf pemerintah akan diberitahu jika mereka terkena dampaknya.

Peretasan terbaru

Langkah-langkah baru itu termasuk pembatasan akses jarak jauh, penyisiran koneksi bisnis, dan penggunaan perangkat lunak anti-virus.

Insiden tersebut merupakan yang terbaru dalam serangkaian aksi peretasan besar-besaran yang menunjukkan rentannya pemerintah federal.

Pada 2014, para peretas Rusia diduga mengakses sistem komputer yang tidak bersifat rahasia di Gedung Putih dan Kementerian Luar Negeri.

Para peretas mencuri informasi 100 ribu pembayar pajak dari komputer Badan Pendapatan Dalam Negeri AS.

Obama menempatkan kemampuan serangan siber Tiongkok dan Rusia dalam kategori "sangat bagus", Iran "bagus", dan Korea Utara "kurang bagus".

Tiongkok mengoperasikan instrumen keamanan dan pemantauan yang luas karena Partai Komunis yang berkuasa ingin tetap mempertahankan kekuasaannya.

Dalam buku putihnya baru-baru ini, Beijing mengatakan akan "mempercepat pembangunan pasukan siber" dalam Tentara Pembebasan Rakyat.

Amerika Serikat menyuarakan meningkatnya kekhawatiran mengenai serangan siber dalam beberapa bulan terakhir.

Laksamana Michael Rogers yang mengepalai Badan Keamanan Nasional dan Komando Siber AS mengatakan serangan di masa datang bisa memicu tindak balas dengan senjata.

Pada Februari, Direktur Intelijen Nasional AS James Clapper mengatakan arus kuat serangan siber tingkat rendah merupakan bahaya palingg banyak dihadapi oleh AS, dibandingkan "armageddon" digital yang potensial.

Ia mengatakan "aktor-aktor" asing melakukan pengintaian dan mendapatkan akses digital ke sistem infrastruktur AS, sehingga bila perlu mereka bisa melancarkan serangan siber di masa depan.

Muncul keprihatinan bahwa kelompok kriminal dan teroris atau organisasi mata-mata bisa menyasar infrastruktur vital seperti jaringan listrik atau sistem kontrol lalu lintas udara.

Kantor Akuntabilitas Pemerintah pada April memperingatkan meningkatnya serangan siber terhadap Amerika dan mengatakan potensi bahaya tersebut diperparah dengan kelemahan pendekatan pemerintah federal untuk melindungi sistem dan informasi federal."

Badan Keamanan Nasional dilaporkan telah diberi kewenangan lebih luas untuk memata-matai lalu lintas internet dalam upaya menelusuri peretasan komputer oleh pemerintah asing maupun pihak-pihak lain, demikian AFP melaporkan.

(S022/B002)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015