Jakarta (ANTARA News) - Seorang penerjemah harus "jatuh cinta" pada karya yang akan dialihbahasakan agar hasilnya benar-benar memuaskan, ujar penulis Roland Nozomu Kelts di Japan Foundation Jakarta, Senin. 

"Dia harus menganggap penerjemahan sebagai dorongan hati, bukan sekadar pekerjaan," kata Kelts yang artikelnya telah dimuat di berbagai surat kabar Amerika Serikat dan Jepang. 

Rasa cinta akan mendorong sang penerjemah untuk mengerahkan segenap kemampuan dan kreativitas dalam menerjemahkan literatur tanpa melenyapkan "roh" tulisan. 

Kreativitas dan penguasaan bahasa, misalnya pengetahuan soal perbendaharaan kata yang kaya, juga menjadi kunci di balik kesuksesan seorang penerjemah.

Dia mencontohkan, penerjemah novel bahasa Inggris ke bahasa Indonesia harus benar-benar menguasai bahasa Indonesia. 

"Dalam literasi, akurasi tidak lebih penting dari kemampuan menulis, tapi untuk menerjemahkan buku-buku media tentu lebih penting akurasi, tapi kita bicara soal literatur," papar kontributor tetap untuk CNN, BBC, NPR dan NHK. 

Bila mementingkan akurasi, tentu suatu kalimat akan diterjemahkan persis seperti aslinya. Namun, kerap itu membuat versi terjemahannya menjadi hambar karena perbedaan tata bahasa yang mencolok. 

Peneliti tamu Universitas Keio itu mencontohkan, penerjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris yang dasar tata bahasanya berbeda akan sulit diterjemahkan persis kata per kata.   

Penerjemah harus memutar otak untuk mengungkapkan literatur dalam bahasanya sendiri tanpa menghilangkan atau merusak "nyawa" tulisan. 

"Butuh kreativitas tinggi untuk menerjemahkan literatur," imbuh editor dalam jurnal literatur Jepang Monkey Business. 

Satoshi Kitamura, ilustrator buku yang telah bekerjasama dengan para seniman dan penyair termasuk John Agard, menambahkan penerbit juga berperan dalam mendukung kualitas penerjemah.

"Penerbit harus memberi perhatian untuk penerjemah, termasuk penghargaan finansial," ujar pria yang kerap menjadi penerjemah itu. 

Dia menambahkan, di Jepang status penerjemah relatif lebih dihargai ketimbang di Inggris tempat dia pernah bermukim selama beberapa dekade. Nama penerjemah ternama seperti Motoyuki Shibata, misalnya, dapat terpampang di sampul buku.

"Padahal biasanya nama penerjemah hanya ditulis kecil di halaman awal buku," imbuh dia. 

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015