Memang, asketisme bukan ukuran keberhasilan politisi. Apalagi jika laku asketik itu bertolak belakang dengan kebijakan yang dipilihnya dan kebusukan yang disembunyikan di balik keasketikannya.
Dunia politik tak pernah sepi dari laku asketik. Ada seorang presiden yang memilih tinggal di rumah pribadinya yang tak lebih bagus dari rumah rata-rata warga yang dipimpinnya. Ada perdana menteri yang tinggal sendirian dan dengan tangannya sendiri memasang kancing yang copot dari jasnya.

Karena dunia politik tak juga sepi dari intrik dan saling menjatuhkan, asketisme sang politisi tak jarang dicemooh sebagai usaha pencitraan diri.

Politisi asketis bukan arus utama, tentu saja. Tak banyak pribadi yang bergelimang kuasa dan uang bisa tahan dari godaan duniawi. Rata-rata politisi menikmati kenyamanan dan kemewahan yang ditawarkan undang-undang.

Di negeri yang makmur, teladan laku asketik justru melimpah. Bukan hanya dari kalangan politisi, tapi juga dari orang-orang besar di kalangan bisnis. Mereka ini berpedoman dalam hidup bahwa kesederhanaan atau keugaharian adalah sumber kebahagiaan.

Pemborosan, atau hidup bermewah-mewah, bagi mereka hanya menjadi sumber rasa bersalah dalam diri pribadi. Politisi yang berkomitmen bahwa pilihan kariernya adalah untuk persembahan pada Yang Ilahi dengan berbuat sebaik mungkin bagi kepentingan rakyat adalah pelaku asketisme sejati.

Politisi asketis jelas bukan tipe sosok yang menganggap bahwa berkuasa adalah imperatif yang harus diperjuangkan dan dipertahankan dengan cara apapun, dengan tujuan memupuk kuasa dan dana.

Politisi asketik jelas tak akan menggunakan kemampuan nalarnya untuk merasionalisasi perubahan undang-undang untuk melemahkan usaha pemberantasan korupsi. Polisi asketik jauh dari niat untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jika ada politisi yang punya niat dan bermanuver untuk mengubah UU pemberantasan korupsi dengan berbagai argumen, mereka bukan lah politisi, apalagi politisi asketik, tapi maling.

Hanya maling yang ingin melemahkan KPK, tulis aktivis media sosial Pepih Nugraha di akun Facebooknya.

Laku ugahari yang didasarkan pada argumen sainstifik penyelamatan lingkungan yang dipraktikkan aktivis lingkungan bisa dijadikan model oleh politisi yang hendak membangun citra dirinya sebagai politisi asketik.

Laku ugahari seperti itu bisa dimanifestasikan dalam bentuk menahan diri untuk tetap menggunakan ponsel lama miliknya tanpa ikut arus ganti dengan ponsel model baru untuk mengikuti mode terbaru. Sering ganti-ganti gawai keluaran terbaru sangat tidak bersahabat dengan alam.

Makin sering ganti ponsel secara agregat pengguna ponsel di jagat bumi akan mempercepat akumulasi sampah elektronik yang meracuni bumi.

Tak banyak politisi di Senayan yang menggunakan ponsel zaman dulu dan umumnya mereka tak mau terlihat kuno karena hal itu. Mereka tak salah karena publik juga lebih menghormati politisi yang selalu menyandang gawai dengan aksesori tercanggih dibanding yang zaman dulu.

Asketisme sebagai cara pencitraan atau bukan tidaklah penting. Yang terpenting adalah apapun yang dilakukan dan dipilih politisi adalah yang berdampak menguntungkan publik.

Belakangan mencuat wacana perlu tidaknya dana aspirasi untuk legislator yang besarnya Rp20 miliar per orang. Di Senayan, pandangan politisi terbelah, ada yang ngotot supaya ide dana aspirasi itu diterima, sebagian berpendapat bahwa dana seperti itu tak perlu.

Tentu publik, yang suaranya banyak diwakili oleh kalangan pengamat dan pakar, memuji mereka yang menolak adanya dana aspirasi itu.

Munculnya politisi asketis secara fenomenal sebenarnya dirindukan di Tanah Air. Seorang penulis masalah kebudayaan Indra Tranggono merupakan salah satu yang merindukan kehadiran presiden asketis.

Presiden Jokowi untuk ukuran presiden-presiden pendahulunya boleh dianggap cukup sederhana, namun belum bisa dibilang berada dalam ranah asketik.

Kesederhanaan Jokowi tentu cukup inspiratif dan bisa menjadi patokan untuk presiden penerusnya di masa depan apakah mereka akan semakin sederhana atau malah bermewah-mewah.

Memang, asketisme bukan ukuran keberhasilan politisi. Apalagi jika laku asketik itu bertolak belakang dengan kebijakan yang dipilihnya dan kebusukan yang disembunyikan di balik keasketikannya.

Agaknya memang harus dipisahkan antara asketisme sebagai pilihan pribadi otentik atau sekadar pencitraan di mata publik.

Pada yang pertama, antara perilaku jasmani dan sikap dan pilihan keputusan politiknya selalu sejalan, pararel. Politisi seperti ini tak hanya berlaku sederhana, tapi juga tak memupuk kekayaan selama berkuasa. Kebijakan publik selalu diarahkan untuk kemanfaatan terutama bagi kelompok termiskin dan tertinggal.

Sementara pada yang kedua, yakni politisi yang mencitrakan diri sebagai pelaku asketik, antara laku jasmani dan sikap serta pilihan kebijakan politiknya bertolak belakang. Di depan publik dia memperlihatkan hidup bersahaja, namun diam-diam kekayaannya semakin lama semakin menggunung.

Politisi asketis tulen berangkat dari filosofi bahwa kebahagiaan hidup bersumber pada kedamaian di hati bukan pada pemilikan atas apapun yang diinginkannya. Dalam dunia di luar politik, kaum asketik tulen bisa antara lain dilihat pada Mohammad Yunus, pendiri Garmeen Bank.

Sukses tak membuatnya silau oleh fasilitas. Di tengah sukses yang diraihnya, dia tetap bekerja di ruang kerja yang sederhana, dengan mobil yang tak perlu terbaru. Sungguh indah hidup yang dipilihnya. Keindahan spiritual, tentunya. Jika jalan hidup yang indah ini juga diikuti kaum politisi, alangkah bahagianya publik.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015