Di suatu pelosok Kalimantan, sebagian petaninya sudah tahu betul manfaat pupuk organik hayati yang dikembangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Sebagian petani di Kecamatan Malinau Utara, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara itu juga tak ragu mengajak kelompok tani masing-masing datang ke acara yang diselenggarakan LIPI, Rabu 24 Juni di ruang pertemuan di kantor Kecamatan.

"Saya baca undangannya, ternyata Pak Anton lagi yang datang, masih ingat saya. Sudah langsung saya ajak saja Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani--red)," kata Kepala Desa Semenggaris Richard Kunum.

Hari itu, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi LIPI Sarjiya Antonius yang biasa disapa Anton menjadi pemapar pertama dengan memperkenalkan kepada yang hadir saat itu kehebatan pupuk organik hayati (POH) yang dikembangkan sejak 2008 dari 10 mikroba lokal yang diperoleh dari hasil ekplorasi ke berbagai pelosok Nusantara, termasuk Malinau.

Ini bukan kali pertama ia berada di ruangan tersebut untuk mendiseminasikan pupuk yang diberi nama POH Beyond Organic (Beyonic) LIPI tersebut kepada masyarakat Malinau.

Pada 2011 lalu, ia juga sempat memberikan diseminasi dan berhasil membuat beberapa warga merasakan keberhasilan sebagai petani.

Saat diseminasi pertama dilakukan Richard belum menjadi Kepala Desa dan pada diseminasi kali ini ia berinisiatif mendatangkan warganya untuk menimba ilmu soal pupuk organik hayati langsung supaya nantinya bisa merasakan berhasil sebagai petani.

Sugianto, petani Malinau sukses lainnya dari Desa Malino Kota yang sebelumnya juga pernah mengikuti diseminasi mengatakan pupuk organik hayati yang dikembangkan oleh peneliti LIPI itu mampu meningkatkan produksi tanaman sayur dan buah-buahan yang ditanamnya 20 hingga 30 persen.

Meski belum mampu mengirimkan hasil pertaniannya keluar dari Malinau, dirinya senang bisa meningkatkan pasokan untuk memenuhi kebutuhan sayur dan buah-buahan di daerahnya.

"Saya tanam macam-macam, tomat, melon, semangka, kacang tanah. Dari lahan kurang dari satu hektar, sekali panen semangka bisa 20 sampai 30 ton," ujar dia.

Ia mengaku baru saja mengeluarkan uang Rp25 juta untuk menyiapkan lahan dan menutupnya dengan mulsa untuk ditanami semangka dan cabai.

Sugianto mengaku yakin dalam dua bulan biaya yang telah dikeluarkannya tersebut sudah akan balik modal.

Petani Pendamping Terampil asal Kulon Progo Pujiman (45) mengatakan pemanfaatan pupuk organik hayati dari LIPI yang dilakukan di Desa Semenggaris memang membawa perubahan.

Dari satu hektar (ha) lahan sawah yang biasanya menghasilkan kurang dari satu ton bisa meningkat menjadi hingga empat ton.

Tanaman cabai yang diberi pupuk yang sama pun, menurut dia, tumbuh lebih tinggi dan bercapang lebih banyak sehingga bakal bunga muncul lebih banyak.

"Biasanya tanaman cabai sampai bercabang lima ini bisa lebih dari 12. Bunganya jadi lebih banyak".

"Tentara" penyubur tanah

Cerita sukses dari Richard dan Sugianto hanya contoh kecil dari kisah petani yang sudah memanfaatkan teknologi pupuk organik hayati tersebut.

Sebelumnya cerita sukses serupa sudah lebih dulu terdengar dari petani-petani di Kulon Progo, Wonogiri, hingga Ngawi.

Semua itu berawal dari penggunaan pupuk organik hayati yang dikembangkan sejak tujuh tahun lalu oleh Anton dengan memanfaatkan 10 mikroba lokal hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia.

"Sejak awal sudah diseleksi saat masih di plate, mana mikroba yang kira-kira bisa akur mana yang tidak. Kita bangunkan tentara-tentara mikroba yang menjadi agen hayati bekerja 24 jam menyuburkan tanah tanpa pernah tidur," ujar Anton.

Mikroba unggulan yang telah melalui tahap isolasi dan seleksi di laboratorium dan berhasil menghasilkan isolat unggulan termasuk empat berasal dari Malinau diantaranya Rhizobium, Azotobacter, Pseudomonas, Bacillus, Trichoderma, Klebsiela, Streptomyces, Aspergillus, Penicillium, Burkholderia.

Mikroba-mikroba tersebut melakukan aktivitas biokatalis, berperan menambat N (nitrogen), melarutkan P (fosfor), K (kalium), menghasilkan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), asam-asam organik, Biopestisida.

Pupuk organik hayati itu tidak hanya sekedar mengembalikan unsur hara tanah tetapi juga menambah daya tahan tumbuhan dari serangan penyakit.

Formula pupuk itu juga dapat meningkatkan molekul klorofil yang mempermudah tumbuhan berfotosintesa sehingga membuat tumbuhan semakin subur dan buahnya semakin banyak dan manis.

Menurut peneliti yang mempelajari pengembangan pupuk hayati selama tujuh tahun di Jerman itu, umumnya pupuk organik yang ditemukan di pasaran hanya menggunakan dua hingga tiga mikroba saja.

"Tidak mudah menggabungkan mikroba dalam jumlah banyak yang tidak saling menyerang," ujarnya.

Karena itu pula ia berani menyebut pupuk organik hayati cair yang dikembangkan LIPI tersebut lebih dari sekedar pupuk organik hayati biasa (Beyond Organic).

Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati mengatakan pengembangan pupuk dari mikroba dapat dilakukan lebih cepat dibanding membuat obat atau fitofarmaka.

"Apalagi seperti Pak Anton yang memang sudah standarisasi metodenya," kata Enny.

LIPI mendorong para peneliti untuk menyempurnakan formula-formula yang telah diciptakan, termasuk pupuk organik hayati tersebut.

"Siapa tahu bisa kita ubah atau diperbaiki formulanya yang lebih potensial misalnya penambah pospor, penambah nitrogennya atau hormon tumbuh," ujarnya.

Pupuk organik hayati Beyonic yang dikembangkan oleh peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Sarjiya Antonius itu disebut Enny memang berbeda.

"Kan banyak yang tidak tahu kenapa kok dikasi bahan organik seperti kompos. Ini kan sebagai sumber nitrogen karena ternyata bakterinya makan lebih lahap jika dicampur itu, jadi lebih bagus, dengan demikian kerjanya lebih kuat," paparnya.

Dengan biaya produksi Rp8.000 perliter, menurut sang peneliti, harga pupuk cair itu cukup kompetitif dengan pupuk kimia seperti urea.

Dari satu liter biang pupuk organik hayati cair yang disebut Beyonic starTmilk dapat dijadikan 1.000 liter pupuk cair yang langsung bisa digunakan oleh petani.

Sebelumnya, untuk satu hektar (ha) lahan dibutuhkan sekitar 400 kilogram (kg) pupuk urea namun satu liter pupuk organik hayati cair yang dikembangkan LIPI tersebut dapat digunakan untuk lahan seluas 1.000 meter persegi atau membutuhkan sekitar 10 liter pupuk cair untuk lahan seluas satu hektar.

Formula pupuk ini pernah ingin dibeli oleh perusahaan produsen pupuk namun Anton menolaknya.

Ia lebih senang mendesiminasikan langsung kepada petani dan Pemerintah Daerah untuk memajukan pertanian di pelosok Indonesia demi mencapai kemandirian pangan.

Itu pula yang menjadi alasan peneliti ini kembali ke Malinau karena ia ingin bisa mengembalikan manfaat mikroba yang diambil dari keanekaragaman hayati yang dimiliki kabupaten konservasi tersebut untuk kesejahteraan masyarakat setempat.

Oleh Virna P. Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015