Artinya, Sunan Ampel tidak sekadar mendirikan masjid tanpa filosofi yang kuat."
Surabaya (ANTARA News) - "Assalamualaikum," sapa tiga orang berpakaian koko putih bermotif garis lurus warna hijau di lengannya kepada salah seorang petugas yang berjaga tepat di pintu informasi di area makam Sunan Ampel di Surabaya, Jawa Timur.

"Waalaikumsalam. Ada yang bisa dibantu bapak-bapak?," jawab petugas itu sembari sedikit membungkukkan badannya.

Tak berselang lama, petugas bersafari warna biru gelap itupun mengantarkan ketiga pria yang bertanya tadi ke sisi belakang masjid, yang menjadi lokasi Sunan Ampel dan pengikutnya dimakamkan.

Ketiga orang itu rupanya datang untuk berziarah dan meminta izin untuk memasuki area makam.

"Saya baru pertama kali ke sini, jadi maklum kalau harus bertanya ke petugas," ujar Samsudin, pria asal Garut, Jawa Barat.

"Iya mas, tempat ini sakral dan kami tidak ingin seenaknya masuk karena pasti ada tata cara yang harus diikuti," sahut seorang rekannya dari belakang.

Ketiganya pun bersila, duduk di latar berpaving di dekat batu nisan Sunan Ampel yang hanya dikelilingi besi aluminium. Kitab berisi bacaan Yaasin dan Al Quran diambilnya, dibacanya dengan sesekali menutup matanya.

Tempat peristirahatan terakhir Sunan Ampel tampak sangat sederhana, hanya berselubung kain putih pada batu nisannya dan dibatasi pagar besi biasa yang terbuat dari aluminium setinggi 1,5 meter yang melingkar dan luasnya sekitar 64 meter persegi.

Tak ada cungkup makam atau ornamen lain yang melindungi makamnya sehingga peziarah bisa melihatnya secara langsung. Tentu saja makam ini terkena derasnya air jika hujan dan panasnya matahari ketika siang.

Keadaan makam Sunan Ampel yang sederhana itu tentu berbeda jauh dengan makam para Wali Songo (sembilan wali) lainnya.

Begitu pula dengan gapura-gapura yang harus dilewati juga terlihat sederhana, tanpa ada ornamen apapun yang menonjol.

Makam Sunan Ampel berada di sebelah barat Masjid Agung Sunan Ampel dan berdampingan dengan makam istrinya, Nyai Condrowati, beserta lima kerabatnya.

Di dekat makam keduanya juga terdapat makam Sholeh yang merupakan pembantu dan santri pertama Sunan Ampel, serta Mbah Sonhaji (Mbah Bolong) yang merupakan santri terakhirnya. Keduanya juga bertugas membersihkan masjid.

Di sana juga terdapat ratusan makam syuhada lain, serta kerabat dan pengikut Sunan Ampel.

Keluarga Sagipoddin

Di dalam kompleks tersebut juga ada makam KH Mas Mansyur, seorang Pahlawan Nasional yang hanya ditandai batu nisan di atas tanah datar. Makam KH Mas Mansyur yang terletak di sisi timur masjid itu berada dalam kompleks Makam Keluarga Besar Sagipoddin atau dikenal Gipo.

KH Mas Mansyur adalah salah seorang anggota Sarikat Islam yang pada 1921 masuk organisasi Muhammadiyah. Bersama Soekarno, Moch. Hatta dan Ki Hadjar Dewantara, KH Mas Mansyur termasuk dalam tokoh nasional yang diperhitungkan dan dikenal dengan sebutan "Empat Serangkai".

Tepat di gapura arah makam Sunan Ampel, berdiri sesosok pria bersama anaknya yang usia sepertinya baru menginjak belasan tahun, berjalan dan sesekali menghentikan langkahnya.

Dia adalah Zeid Muhammad, atau sehari-harinya akrab disapa Gus Zeid, yang saat ini juga tercatat sebagai sejarawan Sunan Ampel dan pengurus Masjid Agung.

Sembari menunjukkan makam Sunan Ampel dan keluarga serta santri-santrinya, pria berwajah Timur Tengah itu menjelaskan bahwa Sunan Ampel adalah sosok ulama yang merupakan keturunan dari seorang ayah yang lahir di Samarkand, salah satu negara di kawasan Asia Tengah atau tidak jauh dari Uzbekistan dan Kazakhstan.

"Ibunya adalah Dewi Chandrawulan, yakni putri dari raja Champa, salah satu negeri di kawasan Asia Tenggara. Sunan Ampel datang memenuhi tugas kemanusiaan di Tanah Jawa atas permintaan bibinya (adik ibunya), yang merupakan istri dari Raden Prabu Kertawidjaja," ucapnya.

Memiliki nama asli Sayyid Ali Rahmatullah atau akrab disapa Raden Rahmatullah, lahir di negeri ibunya pada 1401 Masehi.

Alasan Sunan Ampel dihadirkan di Jawa, kata dia, karena Sunan Ampel diyakini mampu mengubah dari satu kultur pada zaman dulu, ketika terjadi degradasi moral yang tidak jauh beda dengan zaman jahiliyah karena marak pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan sebagainya.

Pertama kali menginjakkan kaki di Jawa, Sunan Ampel mengevaluasi apa yang menjadi langkah Syaikh Jamalluddin sebelumnya.

Sunan Ampel dalam dakwahnya tidak memaksa rakyat untuk kembali ke Islam, namun dilalui dengan menyentuh masyarakat dan bersosialisasi sekaligus membangun budi pekerti luhur.

"Awal yang memperbaiki dan membuat satu kemajuan yakni Sunan Ampel tidak mengajak ikut masuk agama, tapi memperbaiki budi pekerti dengan visi," tukasnya.

Sebagai seorang ulama yang giat berdakwah, Sunan Ampel mempunyai ajaran yang terkenal dengan sebutan "molimo". "Mo" berarti tidak mau, sedangkan limo adalah lima perkara, jadi "molimo" adalah tidak mau melakukan lima perkara yang terlarang.

Kelima ajaran Sunan Ampel itu adalah, "Emoh Main" (tidak mau main judi), "Emoh Ngumbi" (tidak mau minum-minuman yang memabukkan), "Emoh Madat" (tidak mau mengisap candu atau ganja), "Emoh Maling" (tidak mau mencuri atau kolusi) dan "Emoh Madon" (tidak mau main perempuan yang bukan istrinya/zina).

Lima perkara itu yang selalu dijadikan satu pegangan, hingga pada akhirnya Sunan Ampel membuat istilah lagi membangun budi pekerti luhur, karena ketika sudah dibangun budi pekertinya maka akan memiliki sopan santun, tata krama dan perilaku indah.

Masjid Ampel Denta

Masjid Agung Sunan Ampel, salah satu situs bersejarah yang dahulu bernama Masjid Ampel Denta.

Menurut Gus Zeid, masjid tersebut dibangun pada 1396 Masehi, meski di sejumlah sumber sejarah tertulis pada awal abad 14 (sekitar tahun 1421 Masehi).

"Sebuah penelitian dari Tutur Tinular dari orang tua keturunan kami, pada 1936 M dibangun Masjid Ampel Denta yang sampai sekarang terjaga keasliannya," ucapnya.

Masjid ini dibangun oleh Raden Rahmatullah dan menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia yang dibangun dengan arsitektur Jawa Kuno yang dipadu dengan nuansa Arab.

Untuk melestarikan dan melindungi peninggalan sejarah, Masjid Sunan Ampel telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya, dan dibangun sebagai kawasan wisata religi.

Masjid tersebut terdiri dari 16 tiang saka utama yang terbuat dari kayu jati, yang memiliki panjang 17 meter dan diameter 60 centimeter, serta memiliki 48 pintu.

Angka 17 menjadi simbol 17 rakaat shalat dalam sehari semalam. Sedangkan, angka 16 merupakan jumlah huruf dua kalimat syahadat. 16 tiang itu, 12 tiang ada di dalam (jumlah huruf Muhammadarrasulullah dalam arab) dan 4 tiang ada di luar (jumlah huruf Muhammad dan Allah dalam arab).

"Artinya, Sunan Ampel tidak sekadar mendirikan masjid tanpa filosofi yang kuat. Peninggalan beliau sangat luar biasa dan memiliki sarat arti. Meski benda mati, namun bisa dijadikan guru karena bisa belajar dalam filsafat Islam," paparnya.

"Yang jelas, kalau diterangkan satu per satu, tidak akan cukup waktu sehari semalam, hanya mengenal filsafat Masjid Ampel yang merupakan peninggalan Sunan Ampel," tuturnya, menambahkan.

Selain bangunan utamanya yang memiliki arsitektur unik dan kokoh yang mampu bertahan hingga berbagai zaman, Masjid Sunan Ampel juga terkenal dengan menaranya yang menjulang setinggi 50 meter, yang dulunya dipakai sebagai tempat adzan.

Di samping menara tersebut, terlihat qubah yang berbentuk mirip pendopo Jawa. Pada kubah tersebut terdapat ukiran mahkota yang berbentuk matahari, sebagai penanda kejayaan kerajaan Majapahit pada masa itu.

Masjid Sunan Ampel telah mengalami perluasan sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1926, 1954, dan 1972. Kini luasnya telah mencapai 1.320 meter persegi (panjang 120 meter dan lebar 11 meter), tapi kesederhanaan khas Sunan Ampel itu masih tetap ada di dalamnya.

Oleh Fiqih Arfani
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015