Pak Ben sangat mencintai provinsinya, dan saya merasa bahwa bagaimanapun dia akan kembali."
Kupang (ANTARA News) - Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Dr. Aloysius Benedictus Mboi MPH yang akrab dengan panggilan Ben Mboi telah berpulang ke Sang Maha Pencipta, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Kamis.

Meski telah tiada, namun program dan karya Ben Mboi yang visioner di berbagai sektor terus dikenang dalam berbagai situasi dan kondisi, diantaranya adalah diversifikasi dan intensifikasi pertanian menjadi tumpuan peningkatan produksi pangan dan gizi bagi rakyat NTT.

Untuk menyukseskan program pro-rakyat itu, Mboi yang menjabat Gubernur NTT dua periode (1978-1988) memobilisasi aparatnya guna mendapatkan dukungan ekstra dari Jakarta dengan mengenalkan berbagai varietas tumbuhan dan teknologi pertanian tepat guna sekaligus berasil guna.

Hasil kepemimpinan Mboi tergambarkan dari eksansi lahan pertanian dengan teknologi modern dari 5.000 hektare pada 1978 menjadi 15.0000 ha (1985). Kiriman pangan dari luar NTT pun menurun drastis.

Lamtoro (Leucaena leucocephala, atau ipil-ipil ) merupakan alat efektif dalam memperkenalkan konservasi lahan dan air serta pakan ternak dan sumber energi pedesaan. Paling kurang, Mboi memolisasi pemanfaatan 500.000 ha, atau setara dengan 40 persen populasi ipil-ipil di Indonesia saat itu, di wilayah NTT.

Suksesnya amtoro tidak dilihat sebagai kemenangan utama, karena Mboi juga harus dilihat dari sisi bagaimana masyarakat mampu mengadopsinya sebagai teknologi konservasi lahan dan tanah yang mampu juga memberikan ketahanan energi dan ekonomi.

Problem NTT perlu disembuhkan dari segala arah. Mboi memperbaiki dan memperpanjang jalan membangun pelabuhan modern di sepanjang pulau- pulau utama di NTT. Program peningkatan pendapatan keluarga diperluas dengan ekspansi bibit hingga panen bertujuan eksport, seperti cacao,kopi dan vanila.

Atas jasa dan gebrakannya itu, ia pernah mendapatkan "The Ramon Magsaysay Award for Government Service", bersama sang istri dr Nafsiah Mboi, pada 1986. Itu bukti sebuah pencapaian yang dikenal masyarakat internasional, tepatnya dua tahun sebelum periode kepemimpinannya berakhir di NTT pada 1988.

Di tangan Ben Mboi, rakyat menyaksikan bahwa pemerintah dapat bekerja dan berhasil dalam berbagai sektor, termasuk yang paling sulit seperti konservasi lingkungan dan hutan melalui Operasi Nusa Hijau ONH) dan Operasi Nusa Makmur (ONM).

Mboi menunjukan ciri kecerdasan memimpin (smart leadership). Pendekatan Ben Mboi pada NTT bisa dibilang pendekatan seorang dokter dengan proses sistematis, seperti mendekati tiap penyakit/pasien yang sakit dengan mempelajari sejarah, membuat diagnosis, formulasi terapi dan membuat prognosis.

Pendekatan Pelita ke-2 di tahun 1978 - 1983 dilakukannya mirip terapi kedokteran pada pasien bernama NTT.

Salah satu program yang dianggap berhasil adalah peningkatan dan rasionalisasi administrasi local melalui program Benah Desa (Village Strengthening Program).

Program tersebut sebuah inovasi dini dalam konteks Indonesia yang kemudian banyak di puji dan diikuti keluar NTT.

Bina Desa memperkuat kelembagaan demokrasi lokal di tingkat desa dan berfungsi menjernihkan informasi terkait prosedur alokasi dan pengelolaan lahan pertanian.

Padahal ketika awal menjabat sebagai Gubernur NTT pada 1978, Pak Ben disambut oleh beberapa bencana besar seperti kelaparan di Kecamatan Paga di Sikka dan gempa bumi dan tsunami (Flores Timur dan Lembata 1979).

Bantuan berdatangan bersama kapal - kapal logistik pengangkut bantuan dari Jawa. Terkait kelaparan di Paga, Ben Mboi mengamati bahwa kejadian kelaparan di Paga terjadi ketika beberapa daerah di NTT mengalami surplus pangan.

Ben Mboi tidak harus membaca "The Problem of Hunger" (Amartya Sen 1981) untuk tiba pada kesimpulan bahwa kelaparan bukan karena kurang pangan tetapi masalah distribusi dan akses di tempat yang mengalami shocks. Dari sini beliau menyadari bahwa transportasi perlu investasi pemerintah.

Bencana-bencana di atas seperti membuka mata Pak Ben menyebutnya sebagai "blessings in disguise", karena peristiwa-peristiwa di atas mengantar pada analisis kritis terkait sebab dan akibat tentang apa yang salah dengan NTT.

Dikenal dan disayang bukan karena nama besarnya, tetapi karya-karya nyatanya ketika memimpin daerah ini selama 10 tahun dan ketegaan sikap dalam memimpin mekipun tetap dalam suasana humanis," katanya.

Ketua DPRD NTT Anwar Pua Geno misalnya ketika mendengar kabar kematiannya mengatakan, NTT kehilangan tokoh besar yang berkarakter dan kharismatis.

"Berpulangnya mantan Gubernur Ben Mboi, membuat NTT kehilangan seorang putra terbaik yang berkualifikasi tokoh bangsa yang kharismatis dan berkarakter khas pemimpin tegas tetapi humanis," katanya.

Memori warga NTT, kata Anwar, tidak akan lupa dengan program pamungkas beliau, seperti ONM (Operasi Nusa Makmur), Operasi Nusa Hijau (ONH) dan Operasi Nusa Sehat (ONS).

Menurut Anwar, Ben Mboi adalah pemimpin yang selalu ada di tengah-tengah rakyatnya. Di bawah kepemimpinan Ben Mboi, NTT sangat populer dan memiliki daya tawar yang kuat di tingkat nasional.

Presiden Soeharto dan banyak menteri Kabinet berkunjung ke NTT, dan buah tangan beliau di bidang industri besar pertama di NTT adalah hadirnya PT Semen Kupang," beber Anwar.

Rektor Undana Prof. Ir. Fred L Benu, M.Si, Ph.D mengatakan, sosok dr Ben Mboi adalah gubernur yang mampu pernah membawa NTT ke arah swasembada pangan.

"Beliau adalah gubernur yang pernah membawa NTT berswasembada jagung pada masa kepemimpinannya. Saya juga banyak mencuri ilmu dari mantan Gubernur NTT itu," kata Fred/

Ia pun menimpali, "Bagi saya, Ben Mboi adalah seorang birokrat tulen yang handal, ilmuwan sekaligus orang tua bagi saya. Saya katakan beliau seorang birokrat karena pengalaman sebagai seorang Gubernur NTT melalui jenjang birokrasi dan jenjang politik yang panjang."

Ben Mboi lahir sebagai putra kedua dari keluarga berdarah biru di Ruteng, Manggarai pada tanggal 22 Mei 1935. Anak dari Mathias Mboi ini menimba ilmu di pendidikan dasar sekolah misi Belanda. Ibunya Yohanna juga berdarah biru. Walaupun berdarah biru, Ben Mboi kecil tetap dilatih secara disiplin termasuk dengan menjual makanan dari rumah ke rumah.

Terkadang Ben Mboi kecil harus diingatkan bahwa sebagai keluarga bangsawan ia tidak boleh menjadi pengumbul bola di lapangan tenis tempat bermain para orang barat di Ruteng. Mengingat ayahnya pernah dimarahi atasannya yang juga dokter dari barat, Ben Kecil berkomitment menjadi dokter juga.

Ia bersekolah di SD Katolik Belanda semasa perang (1942 -1949). Di tahun 1949, Ben kecil dikirim ke Kupang, Timor Barat untuk melanjutkan sekolah di SMP. Tahun yang sama ayahnya meninggal. Namun ibunya gigih untuk mengirimkannya ke Malang (Jatim) untuk pendidikan SMA di tahun 1955. Dari Malang, Ben Mboi melanjutkan sekolah di Fakultas Kedokteran di University of Indonesia.

Memasuki tahun ke dua, studinya dibiayai Pemda di Ruteng. Tahun 1959 � 1960 Ben Mboi mengetuai Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran di UI dan kemudian menjadi anggota presidium di UI. Setelah selesai di tahun 1961, bersama para dokter dari anggkatannya di UI, ia di kirim ke pusat pelatihan militer dan menjadi dokter militer.

Di tahun 1962 Ben Mboi mendarat dengan parasut di hutan belantara Papua Selatan di bawah komandan Benny Moerdani. Walaupun kemudian Irian Barat (Papua dan Papua Barat) telah diserahkan Belanda Agustus 1962, beritanya baru sampai di lapangan Oktober 1962. Letnan dokter Mboi di promosikan ke tingkat Kapten. Beliau adalah satu - satunya dokter dalam operasi tersebut.

Kemudian Ben ditugaskan ke bagian operasi di RS Militer di Jakarta. Ketika Nafsiah Mboi tamat di tahun 1964, mereka segera menikah setelah menjalin kasih (diselingi putus sambung sejak 1958).

Ben dan Nafsiah kemudian dikirim ke Ende (Flores) sebagai dokter. Bila Ibu Nafsiah mengelolah RS lokal berkapasitas 100 tempat tidur dan melayani 30 hingga 50 pasien sehari.

Ben berjalan jauh berjam - jam dari satu desa ke desa lainnya untuk menyembuhkan mereka yang sakit, termasuk mendirikan klinik-klinik desa yang dikelolah oleh perawat-perawat dan bidan. Bagi Pak Ben hal ini merupakan sebuah kepulangan dan memenuhi janji sebagai dokter bagi Flores.

Di tahun 1967, Pak Ben di tugaskan ke Kupang sebagai Pimpinan Dokter Medical Commandant NTT. Beliau juga terpilih sebagai anggota DPR transisi ke Orde Baru. Walau beliau merasa bukan sebagai parliamentarian yang sukses, beliau merasa bahwa di sana hanya "bicara, bicara dan bicara. Kerjanya hanya bicara."

Di tahun 1971, sebagai Ketua Kampnye Golkar yang sukses, Pak Ben menolak kursinya untuk DPR. Ia bersama Nafsiah memilih sekolah pascasarjana ke Eropa. Mereka tinggal di Ghent, Belgia, bersama anak-anak.

Bila Ibu Nadsiah kemudian mengambil spesialis anak di Rijks Universiteit, Ghent, Pak Ben dengan beasiswa WHO mengambil Masters Degree in Public Health di the Prince Leopold Tropical Institute di Antwerp (Belgia).

Pak Ben kemudian mempelajari secara mendalam terkait asuransi kesehatan nasional di Belgia, Norwegia, Belanda, Inggris dan Jerman Barat. Belau sempat studi management di the University of Louvain (Belgia) .

Ibu Nafsiah pun pernah berujar, "Pak Ben sangat mencintai provinsinya, dan saya merasa bahwa bagaimanapun dia akan kembali. Karena itu saya akan pergi bersamanya. Saya tahu daerahnya tidak akan ada rumah sakit besar."

Kecintaan Ben Mboi dan Nafsiah akhirnya mereka wujudkan bagi rakyat NTT, dan Ben juga setia menemani Nafsiah saat menjalani tugas selaku Menteri Kesehatan RI di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Pasangan ini agaknya terus berupaya mewujudkan keinginan mereka, agar rakyatnya sehat dan sejahtera.

Oleh Hironimus Bifel
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015