Wina (ANTARA News) - Bagi politisi elit Iran, penyelesaian sengketa nukir dengan negara-negara Barat adalah persoalan prestis dan perluasan pengaruh geopolitik.

Tetapi bagi warga biasa, hal yang sama akan berdampak langsung bagi isi tabungan, lemari makanan, dan juga pekerjaan, lapor Reuters.

Sanksi internasional yang diterapkan untuk Iran dalam beberapa tahun terakhir ini telah membuat ratusan pabrik terpaksa berhenti beroperasi sementara standar hidup warga kebanyakan berkurang secara drastis.

"Pabrik tekstil tempat saya bekerja selama 15 tahun terpaksa tutup pada akhir bulan lalu karena mereka tidak bisa membayar gaji karyawan selama tiga bulan," kata Mohammad Seirafzadeh dari kota Sari, bagian utara Iran.

"Saya adalah pekerja yang berpikiran sederhana. Saya tidak mengerti urusan nuklir maupun politik. Jika kesepakatan itu membantu saya memperoleh pekerjaan baru dan memberi makan anak-anak, maka kesepakatan harus tercapai," tambahnya.

Selama tiga dekade terakhir, Tehran memang sudah terbiasa menghadapi pembatasan perdagangan dengan Washington. Hal itu berarti, beberapa produk seperti elektronik sampai suku cadang pesawat dari Amerika Serikat tidak bisa didapatkan oleh warga Iran.

Namun sejak 2011-2012, saat Amerika Serikat dan Uni Eropa mulai membatasi penjualan minyak Iran ataupun melakukan transaksi finansial, dampak dari sanksi ekonomi mulai terasa besar bagi 76 juta warga negeri itu.

Pemasukan negara yang terus mengecil kemudian berakibat pada berkurangnya subsidi kebutuhan pokok. Sebagai contoh, biaya listrik, air, dan gas naik tiga kali lipat sejak tahun 2010 baik bagi konsumen pribadi maupun badan usaha.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa produk domestik bruto perkapita turun hampir 50 persen menjadi 6.500 dolar AS pada 2013 lalu.

Namun sejak Hassan Rouhani memenangi pemilu dan menjabat sebagai presiden pada 2013 lalu, isolasi dunia internasional mulai sedikit berkurang dan sebagian kecil sanksi sudah mulai dicabut.

Rouhani juga mendapatkan dukungan dari pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang kini siap mengorbankan sedikit kebanggaan nasional dalam urusan pengembangan nuklir demi memperbaiki sisi ekonomi.

Sejak terpilihnya Rouhani, inflasi berhasil diturunkan setengah meski masih tetap tinggi, yaitu 18 persen.

Di sisi lain, data resmi menunjukkan bahwa tingkat pengangguran adalah sekitar 15 persen. Angka itu tidak mencerminkan jumlah pekerjaan dengan gaji di bawah upah minimum yang sangat besar serta jurang kesejahteraan yang semakin lebar.

Ali Kheirkhak (48) saat ini bekerja sebagai pembersih rumah di kota Isfahan sejak pabrik tempat dia sebelumnya mencari penghasilan tutup lima bulan yang lalu. Akibatnya, dia kini tidak bisa membayar sewa rumah ataupun membeli kebutuhan pokok.

Untuk tetap bertahan, Kheirkhak terpaksa mengirim keluarganya di desa tempat asal di utara Iran.

"Saya berlum bertemu dengan anak-anak selama beberapa pekan ini. Hidup jadi demikian sulit. Saya berharap Rouhani bisa memperbaikinya, saya memilih dia pada saat pemilu," kata Kheirkhak.

Selain mempengaruhi pekerjaan, sengketa nuklir juga membuat cadangan makanan di Iran mengalami kelangkaan mengingat negara tersebut mengimpor sebagian bahan pangan.

Warga Iran tidak bisa lagi membeli bahan makanan dari luar negeri karena sanksi dari negara Barat mempersulit pembayaran antar negara sekaligus asuransi pengiriman kapal. Di sisi lain, banyak pelabuhan Iran yang masuk dalam daftar hitam sehingga memperlambat impor.

"Saya punya dua anak dan suami saya bisa membayar semua kebutuhan pokok. Tapi setiap hari harga-harga terus naik (karena langka)," kata Mina Vakili (35) dari kota pelabuhan Bandar Abbas.

"Saya berharap pemerintah menandatangani kesepakatan nuklir. Saya tidak tertarik dengan aspek politiknya. Yang saya inginkan adalah kehidupan dan ekonomi yang baik," kata dia.

(Uu.G005)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015