Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Satya Widya Yudha memaparkan kondisi energi Indonesia di Oxford University, Oxford, Inggris.

Saat dihubungi di Jakarta, Jumat, Satya mengatakan, dirinya menjadi pembicara dalam Konferensi Natural Resources Governance Institute (NRGI) 2015 yang berlangsung di universitas bergengsi itu pada 26 Juni 2015.

Menurut dia, materi yang dipaparkannya dalam konferensi yang dihadiri pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi seluruh dunia itu adalah soal kejatuhan harga minyak dunia yang memberikan kesempatan Indonesia mencabut subsidi BBM.

"Dalam sejarah APBN kita, baru kali ini pemerintahan Presiden Joko Widodo berani secara tegas mencabut anggaran subsidi BBM khususnya premium," katanya saat tampil dalam sesi "Race to the Bottom? How the Price Drop is Impacting Fiscal and Contract Terms" di forum tersebut.

Ia mengatakan, dengan kebijakan tersebut, Indonesia berhasil menghemat subsidi BBM hingga 16,8 miliar dolar AS atau sektiar Rp210 triliun pada 2015.

Subsidi, lanjutnya, bukan lagi untuk komoditas harga, melainkan diberikan langsung ke sektor kesehatan dan pendidikan sebagai hasil realokasi penghematan anggaran pencabutan subsidi BBM tersebut.

"Pengalihan ke subsidi langsung ini dinilai lebih adil ketimbang membayar utang negara ataupun menambah pendapatan pemerintah. Jadi, benar-benar subsidi langsung untuk rakyat," katanya.

Namun demikian, lanjut Satya, dalam kesempatan tersebut, dirinya juga memaparkan penurunan harga minyak telah membuat kontraktor migas menurunkan kegiatannya seperti pengembangan sumur baru dan "work over".

Selain itu, ia menjelaskan sejumlah isu yang dihadapi kontraktor migas saat ini seperti masih rumitnya birokrasi yang membuat lambannya keputusan perizinan dan tumpang tindih regulasi yang bisa memicu ketidakpastian investor.

Di depan peserta konferensi, Satya juga memaparkan solusi yang bisa diambil agar tata kelola migas di Indonesia menjadi lebih baik, yang menguntungkan negara dan juga kontraktor.

Salah satu usulannya adalah diterapkannya "modern hybrid stabilitation clause".

"Klausul ini melindungi kepentingan investor dengan menyeimbangkan manfaat atau mempertahankan keseimbangan ekonomi dari tanggal efektif kontrak," jelasnya.

Kontrak itu mengatur penyesuaian otomatis dengan cara tertentu ketika "economic equilibrium" kontrak terganggu.

Contohnya, jika pemerintah yang meningkatkan pajak, maka kontrak akan secara otomatis menyesuaikan bagian minyak mentah untuk mempertahankan keseimbangan ekonominya.

Namun, hal itu juga perlu dilengkapi dengan "negotiated economic balancing clause".

Dalam forum tersebut, Satya berbicara bersama Philip Daniel (Chair, Advisory Board, Oxford Centre for the Analysis of Resource Rich Economies), Anthony Paul (Principal Consultant, Association of Caribbean Energy Specialists), Carole Nakhle (Director, Crystol Energy, UK), dan Salli A. Swartz, (Partner, Artus Wise).

Presentasi Satya di konferensi itu juga bisa dilihat di "link" Youtube https://youtu.be/HNgZkm5tRt4 berjudul "Race to the Bottom? How the Price Drop is Impacting Fiscal and Contract Terms".

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015