Akibatnya, yang beroperasi di pusat-pusat budaya yang dibiayai uang rakyat yang dikendalikan pemerintah adalah kreasi kultural yang menghamba pada sang penguasa."
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah mengundang siapa pun yang berminat untuk menduduki posisi direktur jenderal kebudayaan.

Siapakah yang layak menduduki posisi bergengsi itu? Budayawan plus senimankah? Atau pemikir kebudayaan yang juga akademisi?

Berbagai ide telah dilontarkan sejumlah pengamat dan pakar tentang karakteristik sosok yang pantas memegang posisi itu.

Mudji Sutrisno, SJ, yang kerap menulis masalah kebudayaan mengatakan sosok yang dicari Kemendikbud itu haruslah figur yang benar-benar paham bahwa kebudayaan tidak untuk diperjualbelikan sebab kebudayaan adalah proses pemanusiaan agar kehidupan jadi tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih bermartabat.

Lebih konkret Mudji mengingatkan pemerintah bahwa jabatan dirjen kebudayaan janganlah diambil dari kalangan politisi karena jika itu yang terjadi, kebudayaan akan dijadikan komoditas untuk dikomersialkan.

Peringatan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu merupakan sinyal jelas bahwa orang yang pantas duduk di kursi dirjen kebudayaan haruslah sosok yang memandang kebudayaan sebagai nilai-nilai yang imaterial dan tak berorientasi pada hasil dengan target yang konkret instan, seperti sasaran yang dipatok yang harus diraih oleh seorang direktur produksi sebuah pabrik.

Dibandingkan dengan era rezim sebelum reformasi, mencari sosok dirjen kebudayaan saat ini agaknya lebih mudah karena tak banyak tabu-tabu politik yang disandangkan di pundak sang dirjen.

Di era prareformasi, dirjen kebudayaan haruslah orang yang paham pengetahuan kebudayaan tapi juga punya kepekaan terhadap kultur yang memproduksi kreasi yang subversif.

Tantangan utama saat itu adalah membuat politik kebudayaan yang tak merongrong kuasa politik. Dengan begitu, segala aktivitas berkesenian yang dianggap membahayakan kemapanan dipinggirkan, dipersempit ruang geraknya.

Akibatnya, yang beroperasi di pusat-pusat budaya yang dibiayai uang rakyat yang dikendalikan pemerintah adalah kreasi kultural yang menghamba pada sang penguasa.

Kini tantangan seperti itu sudah tak menghadang lagi. Tantangannya bergeser pada kecenderungan untuk memberi ruang bagi kekuatan kultural yang bisa diperjualbelikan. Pada titik inilah seruan Mudji Sutrisno memperoleh relevansinya.

Jika dirjen kebudayaan yang baru tak menyadari tantangan ini, dia akan terperosok kembali pada pemahaman tentang kebudayaan sebagai sekadar persoalan hiburan dan wisata, seperti yang dikemukakan seniman panggung Butet Kertaredjasa.

Dirjen kebudayaan sesungguhnya tak pernah bisa lepas dari bingkai kebijakan politik di atasnya. Dia akan menjadi bagian dari paradigma politik yang digariskan untuk menjalankan kebijakan politik.

Dari perspektif itulah bisa dimaklumi jika rezim prareformasi memperlihatkan kecenderungan menggelontorkan dananya pada proyek-proyek penyelamatan produk budaya dan seni tradisi yang tak bersentuhan dengan kritik politik. Dirjen kebudayaan di masa itu cukup dermawan pada usaha pelestarian karya tradisi.

Dirjen kebudayaan yang baru nanti sebenarnya tak perlu susah payah merumuskan pedoman dasar kerjanya sebab Presiden Joko Widodo sudah menancapkan filosofi pengembangan watak bangsa lewat jargon revolusi mental, yang sampai saat ini menjadi bahan diskusi dan parodi di kalangan pendukung maupun pencercanya.

Mewujudkan filosofi revolusi mental itulah yang akan menjadi beban di pundak dirjen kebudayaan yang sedang dicari itu. Karena persinggungan kebudayaan dan politik begitu kuat, tentu seorang yang akan menduduki posisi dirjen kebudayaan mestilah sosok yang kuat visi politiknya, di samping mendalam pemahamannya tentang kebudayaan.

Rumusan Mudji Sutrisno bahwa kebudayaan merupakan proses pemanusiaan juga membuktikan adanya segi politik dan kebudayaan yang berkelindan.

Bercokolnya kekuatan sektarian yang sekaligus radikal yang mencoba meringkus elemen kemajemukan di Tanah Air juga perlu menjadi bahan kontempalisi dirjen kebudayaan mendatang.

Kualifikasi yang dibutuhkan dari seorang dirjen kebudayaan yang peka politik sekaligus paham budaya juga penting untuk mengerem atau mengendalikan diri ketika kekuasaan hendak menyeretnya masuk ke dalam kepentingan politik sempit.

Secara lebih gamblang perlu dikatakan di sini bahwa dirjen kebudayaan itu perlu mempunyai karakteristik seorang yang berpihak pada kemerdekaan berpikir, berbicara dan berserikat.

Pusat-pusat budaya yang menjadi aset pemerintah harus dijadikan forum bagi siapa pun yang visinya mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan, membangun kebersamaan di antara kekuatan yang berbeda-beda.

Tak perlu menunggu adanya musuh dari luar untuk membangun kebersamaan di kalangan masyarakat yang berbeda-beda visi politik maupun iman mereka.

Dirjen kebudayaan yang ideal dengan demikian bukan dari kekuatan yang selama ini memperlihatkan penyempitan visi dalam membangun Indonesia ke depan.

Dirjen kebudayaan yang diimpikan juga bukan orang yang tergiur pada kekuatan modal dalam menghidupkan kegairahan berkebudayaan dan berkesenian di Tanah Air.

Sebelumnya, dirjen kebudayaan tak sanggup membendung institusinya dijadikan sarana para birokrat melancong ke luar negeri dengan memboyong seni tradisi untuk memperkenalkan Indonesia dari sisi seni.

Kebiasaan ini agaknya perlu dihentikan dan digantikan dengan aktivitas yang lebih berdaya guna membangun watak warga negara yang semakin bermartabat.

Kemampuan pemanusiaan menuju situasi yang lebih bermartabat inilah yang senantiasa dijadikan tolok ukur untuk memilih dirjen kebudayaan yang akan berposisi di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015