Saya harus menghormati dan menghargai putusan itu."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (IAS) setelah diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi kerja sama rehabiliasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar tahun anggaran 2006--2012.

"Untuk kepentingan penyidikan, tersangka IAS ditahan selama 20 hari pertama di rumah tahanan kelas I cabang Jakarta Timur di KPK di Detasemen Polisi Militer (Denpom) Guntur," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Jumat.

Ilham yang sudah mengenakan rompi tahanan warna orange tampak tenang sambil menenteng satu tas di tangannya saat keluar dari Gedung KPK.

Ia tidak ditemani oleh pengacara, dan hanya ada seorang perempuan berjilbab dengan mengenakan kaftan panjang yang tampak menungguinya.

"Saya harus menghormati dan menghargai putusan itu. Apapun yang menjadi putusan harus dihargai dan harus diikuti prosedurnya, seperti apa nanti, walaupun sebenarnya saya sudah melalui tahapan-tahapan untuk pengakuan terhadap keabsahan tersangka melalu praperadilan dan kemudian ada sprindik kedua," kata Ilham seusai diperiksa sekitar 6,5 jam.

Ia mengaku akan membuka kasus tersebut di pengadilan.

"Ya, mudahan-mudahan buat teman-teman wartawan, di pengadilanlah akan pembuktian nanti terhadap kasus yang dituduhkan kepada saya korupsi pada kerja sama instansi PDAM, yang terlibat pihak ketiga, PT Traya Tirta," ujarnya.

Pemeriksaan Ilham adalah yang pertama setelah tidak menghadiri tiga kali panggilan KPK, yaitu pada 24 dan 29 Juni serta 6 Juli 2015 dengan alasan melaksanakan ibadah umroh dan periksa kesehatan (medical check up) di National University Hospital di Singapura, serta menjalani proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pada Kamis (9/7), hakim tunggal PN Jakarta Selatan Amat Khusairi yang menolak permohonan praperadilan Ilham terhadap dengan alasan penetapan tersangka sudah sesuai prosedur dan telah memenuhi dua alat bukti yang cukup, sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Hakim juga menilai keputusan tersebut telah menimbang bahwa penyidik dan penyelidik KPK adalah sah.

Padahal, hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati di PN Jakarta Selatan pada 12 Mei 2015 mengabulkan permintaan Ilham untuk membatalkan penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus tersebut dengan alasan KPK tidak menunjukkan bukti yang cukup.

Atas putusan hakim Upiek tersebut, KPK mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru per 5 Juni 2015 sehingga Ilham kembali menjadi tersangka dalam kasus yang sama, namun lagi-lagi Ilham mengajukan gugatan praperadilan.

Ilham pun kembali dicegah KPK untuk bepergian keluar negeri sejak 25 Juni 2015.

Pasal yang disangkakan kepada Ilham adalah pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 mengenai perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya dalam jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Ilham diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp38,1 miliar karena adanya sejumlah pembayaran yang digelembungkan oleh pihak pengelola dan pemerintah kota.

Selain Ilham Arif Sirajuddin, KPK juga menetapkan Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar Hengky Widjaja sebagai kasus yang sama dan disangkakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 8 November 2012 sudah menyerahkan data hasil audit perusahaan milik Pemkot Makassar itu kepada KPK. Hasil audit tersebut adalah ditemukan potensi kerugian negara dari kerja sama yang dilakukan PDAM dengan pihak swasta hinga mencapai Rp520 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015