Addis Ababa (ANTARA News) - Para pemimpin dunia berkumpul di ibu kota Ethiopia mulai Senin untuk konferensi pembiayaan pembangunan yang menjadi langkah penting dalam upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyudahi kemiskinan dan mengendalikan perubahan iklim pada tahun 2030.

Tujuan dari konferensi lima hari ini --pertemuan ketiga setelah yang pertama di Monterrey tahun 2002 dan Doha tahun 2008--, sangat ambisius yakni menentukan aturan-aturan dasar untuk dunia yang lebih adil dan inklusif, dengan pembangunan yang rendah-karbon.

Secara konkret, ini berarti menentukan bagaimana membiayai sektor-sektor pembangunan berkesinambungan di negara berkembang--yang diperkirakan mencapai 2,5 triliun dolar per tahunnya menurut data Badan Pembangunan dan Perdagangan PBB (UNCTAD).

Keputusan ini akan memungkinkan berbagai pihak di dunia untuk lebih gigih mencapai Target Pembangunan Berkesinambungan 2015-2030, yang secara formal akan ditetapkan di New York pada Oktober tahun ini. Terdapat 17 target, meliputi penghapusan kemiskinan hingga penyediaan akses universal terhadap sumber energi yang berkelanjutan.

AFP melaporkan, Ethiopia dipilih sebagai tuan rumah dengan tujuan mengangkat isu penting Afrika, sebuah benua yang menjadi rumah bagi 33 dari 49 negara paling miskin di dunia.

Terlepas dari kekhawatiran tentang catatan demokrasi dan hak asasi manusia, negara--yang lumpuh akibat kelaparan pada 30 tahun silam tapi sekarang telah menjadi salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan tercepat di dunia--dilihat sebagai tauladan dalam pembangunan, membawa jutaan manusia keluar dari kemiskinan dan berinvestasi besar-besaran di infrastruktur dan berbagai layanan umum utama.

Pengelakan Pajak


Hingga saat ini persiapan konferensi pembangunan di New York belum menemukan kesepakatan tentang hasil yang ingin dicapai, di mana negara-negara kaya--mayoritas sedang mengalami kesulitan finansial di negarinya sendiri sehingga enggan menambah anggaran bantuan mereka--mendesak agar sektor swasta untuk mengambil porsi yang lebih besar, dan agar ekonomi yang mulai menggeliat seperti Tiongkok, Brasil, dan India turut membantu.

"Banyak negara donor bertanya siapa yang pantas mendapatkan dana bantuan. Mereka bilang kepada negara dengan pendapatan menengah kamu kaya, kamu bisa hasilkan uang sendiri, mari fokus ke negara-negara miskin," kata Gail Hurley, ahli kebijakan dengan Badan Pembangunan PBB (UNDP).

Dengan tenggat yang semakin dekat, penasihat kebijakan OXFAM Claire Godfrey mengatakan bahwa kata sukses masih jauh dari realisasi.

"Apa yang kita tidak mau lihat adalah kata-kata hampa dan janji-janji," kata dia.

"Kesepakatan yang menguntungkan negara kaya dan kepentingan bisnis tidak akan sepadan dengan kertas yang mereka cetak. Pembicaraan sejauh ini terlihat negara-negara masih berpangku tangan dan menunggu pihak lain mengambil langkah pertama," tambah dia.

Konferensi harus menekankan kembali bahwa negara-negara kaya harus mengupayakan alokasi 0,7 persen dari kekayaan mereka untuk dana pembangunan negara-negara miskin, hal yang belum diindahkan.

Salah satu hal paling alot adalah pembentukan organisasi pajak internasional di PBB yang menangani aksi pengelakan pajak oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Aturan pajak internasional memungkinkan perusahaan raksasa untuk menghindari kewajiban pajak yang merugikan negara-negara miskin hingga 100 miliar per tahun, menurut OXFAM.

Negara-negara kaya, meski demikian, ingin keputusan soal badan pajak internasional berada di tangan negara-negara OECD dan G20, di mana mereka akan mengendalikan agendanya.

"Usaha menarik mekanisme pengambilan keputusan soal pajak dari OECD bukan sepele di masalah prinsip," kata Lucie Watrinet dari LSM pembangunan berbasis di Prancis, CCFD-Terre Solidaire.

"Langkah yang diusulkan OECD terkait soal pengelakan pajak ini sangat kecil peluangnya mendengarkan keluhan negara miskin, bahkan negara miskin akan lebih merugi lebih banyak lagi."
(Uu.E012)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015