Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Prof. Abdurrahman Mas'ud menyatakan, tidak semua orang pernah merasa lapar namun dapat dipastikan semua orang pernah merasa kenyang.

Ibadah puasa selama sebulan penuh pada bulan suci Ramadhan telah banyak memberi pelajaran yang pantas dipetik oleh umat Islam, termasuk di dalamnya hikmah, faidah dan fadhilah sebagai bekal mengarungi kehidupan mendatang, kata Abdurrahman Mas'ud di kediamannya kawasan Cipayung, Jakarta Timur, Rabu malam.

Mantan Direktur Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (September 2000) ini melihat jika diibaratkan, Ramadhan adalah sebuah "madrasah" yang di dalamnya ada pendidikan, ujian, dan berakhir wisuda. Pasalnya, selama 12 jam x 30 hari mulai terbit fajar hingga terbenamnya sang surya, semula sesuatu yang halal menjadi haram. Makan dan minum yang awalnya halal bagi manusia sepanjang hari, di bulan Ramadhan menjadi haram.

"Satu hal yang bisa kita petik sebagai aspek sosial puasa, yakni semua orang pernah merasa kenyang. Namun, tidak semuanya pernah merasakan lapar," ungkap Wakil Direktur Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (1997-1999) ini.

Muslim di seluruh dunia akan menyelesaikan ibadah puasa. Tentu, kata mantan Ketua ICMI Los Angeles AS (1992-1995), umat Islam berkaca pada tradisi mulia para umat terdahulu. Dalam Islam, meneruskan tradisi baik atau modeling, termasuk dalam kategori menghidupkan sunah Rasulullah. Sungguh tradisi puasa adalah tradisi Muhammad SAW dan tradisi para nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS.

Lulusnya kaum muslimin pada ujian lapar dan dahaga inilah yang kemudian menjadikan umat Islam layak diwisuda dengan perayaan Idul Fitri atau akrab disebut Lebaran. Idul Fitri bagi kaum muslimin bisa dianalogikan dengan graduation day (perayaan wisuda) bagi mereka yang lulus dari studi dan training selama bulan Ramadhan penuh.

Mereka yang tulus menunaikan puasa, tekun salat tarawihnya, rajin membaca dan mengkaji ayat-ayat Tuhannya, bermunajat kepada Penciptanya di tengah malam buta (saharul layaaliy) tatkala manusia lagi asyik dengan mimpinya, menggalakkan amal sosial berupa zakat fitrah, zakat mal, dan aneka amal sosial lainnya, pasti akan merindukan bulan puasa di tahun-tahun mendatang, ia menjelaskan.

Kerinduan inilah yang hanya dimiliki oleh manusia beriman yang mendapatkan diploma dan degree dari Allah dalam Al-Quran, yakni muttaqin atau manusia bertakwa, katanya.

Manusia bertakwa dan berkualitas ini pulalah yang mampu menyerap wisdom (hikmah) sebagaimana sabda Rasul; "Jika umatku memahami dan mengerti makna puasa, niscaya mereka akan meminta puasa berjalan setahun penuh."

Gelar muttaqin ini, menurut dia, sesungguhnya label dari Allah dan perwujudan dari "human perfection" dalam proses mengabdi kepada-Nya dengan tiada henti dan tanpa pamrih. Allah memujanya dalam Al-Quran (87: 14-15): "He is successful who grows and remembers the name of his Lord, so prays" (Sungguh beruntunglah seseorang yang berhasil menyucikan diri (dengan berpuasa dan amal sosial), mengingat, dan menyebut nama Tuhannya, kemudian menegakkan salat).

Di hari kemenangan itu, seorang muslim harus semakin yakin dan percaya bahwa puasa memiliki nilai tambah (added value) bagi pelakunya. Puasa bukanlah kegiatan diet, juga bukan upaya solidaritas sosial, "show off" kesengsaraan hidup karena kurang sandang dan pangan.

Diet, menurut alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak memiliki apa-apa dibanding dengan kebesaran berpuasa dalam Islam. Diet merupakan upaya memperlangsing diri dan keelokan tubuh, kecantikan diri, yang dihiasi dengan keinginan membuat penampilan diri lebih "greget" supaya orang lain memberi respect lebih kepadanya. Dengan kata lain, individualisme adalah makna akhir diet.

Sebaliknya, puasa justru memiliki makna hakiki yang berbeda. Tujuan akhir puasa adalah terciptanya manusia bertakwa, yakni manusia yang lebih "care" pada penderitaan orang lain dengan lebih banyak memberi daripada menerima.

Manusia takwa adalah manusia yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhiratnya. Antara kehidupan pribadi, keluarga, sosial, dan kenegaraannya, serta harmonis antara emosi dan akal sehatnya.

Dalam Islam, katanya, mempertahankan akal sehat merupakan suatu kewajiban dan keniscayaan. Akal inilah yang membedakan dia dari makhluk lain. Dengan akal pula, lahir "knowledge" yang akhirnya berkembang dengan pesat. Akal sehat telah membawa kemajuan sains dan teknologi modern. Dengan "knowledge", Nabi Adam AS lebih unggul daripada malaikat sebagaimana termaktub dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 34 yang artinya sebagai berikut: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sebab) ia termasuk golongan orang-orang yang kafir."

Lalu, Allah meninggikan derajat mereka yang beriman dan berilmu pengetahuan sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya kurang lebih: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan."

Posisi ilmu dalam Islam, menurut dia, digambarkan sangat elok oleh Rasulullah SAW pada sahabatnya yang terkenal pakar, luas pandangannya, dan dalam ilmu agamanya, yakni Muadz bin Jabal: "Kuasailah ilmu. Karena sesungguhnya ilmu adalah mutiara setiap mukmin. Hilm (wise understanding) adalah minister ilmu, akal adalah guide ilmu, action adalah executive ilmu, kasih sayang adalah ayahanda ilmu, lemah lembut adalah adinda ilmu, dan sabar adalah pengendali ilmu."

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015