... pasti sangat fenomenal adalah kemunculan Haddad Alwi dengan angka penjualan mencapai 2,5 juta kopi ketika berduet bersama Sulis di album Cinta Rasul...
Jakarta (ANTARA News) - Dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun terakhir teknologi media perekam dan pemutar musik berkembang mulai dari piringan hitam hingga musik digital yang bisa dibeli dan diunduh lewat ponsel berjaringan internet.

Perubahan teknologi tersebut menjadi tantangan besar bagi industri musik tanpa terkecuali pop religi.

Pop religi berkembang sejalan dengan majunya industri musik pop yang melahirkan musisi-musisi yang ikut menyanyikan tembang religi dan rohani menjelang hari besar keagamaan.

Bimbo pernah merilis album Abang Becak yang di dalamnya terdapat lagu Tuhan dalam format piringan hitam pada 1971. Kelompok pop religi Nasida Ria dan Rhoma Irama pun pernah memproduksi piringan hitam untuk menjual karyanya.
 
Kendati piringan hitam atau vynil digunakan pada 1950 hingga 1980. Namun saat ini sejumlah musisi dan perusahaan rekaman kembali merilis piringan hitam secara terbatas guna keperluan koleksi.

Selepas masa piringan hitam, munculah kotak berukuran 4 x 2,5 inci berisi gulungan pita magnetik yang menyimpan data suara dalam durasi tertentu. Kaset pita pernah menjadi andalan industri musik pada 1970 hingga 2005.

Menurut pengamat musik Bens Leo, masa kejayaan penjualan fisik kaset pita di Indonesia terjadi pada awal 1990 hingga 2005 ketika Nike Ardila, Dewa 19, Sheila on 7, Jamrud, dan Peter Pan sukses menjual jutaan kopi kaset.

Cakram padat (CD) muncul pada awal 90-an sebagai media penyimpanan data. Teknologi ini berkembang hingga piringan berdiameter 12cm ini mampu menyimpan data dalam format suara bahkan video.

CD menggeser penggunaan kaset pita secara perlahan karena kepraktisan bisa diputar di CD Player dan komputer serta penikmat lagu bisa memilih lagu di urutan tertentu tanpa harus menggulung pita.

Bens leo mengatakan Haddad Alwi merupakan penyanyi pop religi dengan penjualan kaset terlaris di Indonesia lewat album Cinta Rasul pada 1999.

"Yang pasti sangat fenomenal adalah kemunculan Haddad Alwi dengan angka penjualan mencapai 2,5 juta kopi ketika berduet bersama Sulis di album Cinta Rasul," kata Bens Leo, di rumahnya, di Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Bens mengatakan, album Cinta Rasul Haddad Alwi menjadi titik puncak kesuksesan musik religi di Indonesia yang tidak pernah terulang lagi di tahun-tahun berikutnya.

"Pada saat itulah pasar penjualan fisik kaset sangat bagus (1999-2005), kemudian perlahan turun sejalan dengan munculnya musik digital yang bisa diunduh," ujar Bens.

Tantangan dunia musik digital tidak hanya dirasakan di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Sejumlah masyarakat lebih senang mengunduh lagu secara gratis dan tidak legal daripada membeli dalam bentuk fisik atau mengunduh iTunes yang berbayar.

"Pada era digital tren musik berubah. Konsentrasinya bukan lagi membeli fisik berupa kaset atau CD tapi mendownload lagu. Dan itu berlaku untuk penjualan pop religi," katanya.

Direct selling
Direct selling atau penjualan langsung dalam satu paket produk tertentu seperti di restoran capat saji KFC dinilai jitu untuk menghidupkan angka penjualan fisik album, termasuk album bertema pop religi.

Sejumlah musisi dari beragam aliran musik memanfaatkan metode penjualan langsung ini termasuk Gigi, Opick, dan Ungu ketika menjual album pop religi.

Penjualan langsung juga bisa dilakukan melalui konser dengan cara "beli tiket dapet kaset".

"Saya sarankan musisi ikuti terobosan direct selling. Jual kaset satu paket dengan produk tertentu, misalnya beli tiket koser dapat kaset," kata Bens.

Selain itu, produser dan musisi pop religi bisa memanfaatkan agen perjalan umrah untuk direct selling kaset atau CD.

"Bisa juga titip edar melalui biro perjalanan ibadah, itu efektif," imbuh Bens.

Kendati penjualannya tidak sebesar pada era album fisik, kata Bens, namun dengan metode direct selling album-album Noah, Rossa, dan Agnes Monica laku diatas 1 juta kopi.

Metode ini juga bisa sebagai alat untuk mengajak masyarakat kembali menikmati musik dengan cara membeli.

"Membeli kaset lebih dari sekadar menikmati musik. Pada kaset atau CD ada seni desain album, juga sebagai bukti bahwa kita adalah seorang penikmat musik yang mengoleksi album," kata Bens.

"Inilah tantangan pemusik pop religi agar menghasilkan karya inovatif yang dibeli masyarakat," imbuhnya.


Album Kompilasi
Salah satu ide untuk menjaga angka penjualan album pop religi adalah dengan merilis album kompilasi.

Album kompilasi yang terdiri dari banyak musisi yang memberikan masing-masing satu lagu merupakan siasat menghindari kerugian akibat masa promosi album religi yang terbatas waktu.

"Masa promosi musik religi cuma dua bulan. Satu bulan sebelum lebaran dan satu bulan setelahnya, habis itu selesai," kata Bens.

"Sangat berisiko memproduksi satu album religi jika waktu menjualnya hanya sebelum lebaran. Untuk itu lebih baik membuat album kompilasi yang terdiri dari sejumlah musisi mengisi masing-masing satu lagu," imbuhnya.

Nidji, d’Masiv, Ungu, Rossa, Chrisye, Sherina, Peterpan dan Letto pernah bergabung dalam album kompilasi bertajuk Tuhan Maha Cinta yang produksi Musica dan Trinity pada 2010.

Slank, Rieka Roslan, Marshanda, dan Ten 2 Five mengusung kompilasi Sinar Kebersamaan pada 2013. Produsen musik Nagaswara juga merilis album pop religi kompilasi yang menampilkan belasan musisi.

Selain mengemas lagu dalam album kompilasi, produsen rekaman juga mengedepankan lagu-lagu religi yang memiliki tema universal supaya bisa diterima semua kalangan.

"Untuk itulah produser rekaman pop religi menciptakan lagu religi yang temanya lebih universal supaya bisa diterima agama apapun," ucap Bens.

Musisi dan produser juga harus mampu memaksimalkan media sosial sebagai tempat untuk mempromosikan karyanya.

"Gunakan kanal YouTube, Facebook, Twitter untuk memperkenalkan musik-musik baru. Media sosial bisa menjadi sarana promosi tak berbayar," katanya.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015