Jakarta (ANTARA News) - Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan menilai kelesuan perekonomian global yang berimbas ke Indonesia, berdampak besar bagi sektor kelautan dan perikanan nasional.

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengungkapkan, sebagian pengusaha terpaksa mengurangi tenaga kerja karena mengalami kerugian yang cukup besar.

"Bahkan, berdasarkan informasi dari anggota KADIN Kelautan dan Perikanan, ada pengusaha yang telah mengalami kerugian hingga mencapai Rp175 miliar, sehingga telah merumahkan sebanyak 500 karyawannya," kata Yugi dalam siaran pers yang diterima ANTARA News, Selasa.

Oleh karena itu, lanjut Yugi, pihaknya pun mendesak pemerintah membenahi enam hal terkait kelautan dan perikanan, di antaranya menuntaskan permasalahan moratorium ijin kapal ikan produksi luar negeri.

Menurut dia, apabila kebijakan itu akan diimplementasikan di Indonesia, maka pemerintah harus mengembangkan industri galangan kapal dalam negeri yang memadai dan bermutu sesuai standar internasional. Hal ini memungkinkan kapal-kapal ikan yang dipergunakan merupakan produksi dalam negeri berdaya saing tinggi.

Yugi mengungkapkan, dalam hal ini, sinergi antarinstansi pemerintah mutlak. Misalnya, antara Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta instansi pemerintah lainnya.

"Bila perlu, presiden bisa menerbitkan payung hukum yang mengatur sinergi itu. Apalagi tahun 2016, pemerintah berencana membangun 5.000 kapal ikan produksi dalam negeri, jadi semuanya harus direncanakan secara matang," ungkap Yugi.

Kedua, lanjut dia, pemerintah perlu mendukung pemberian insentif fiskal dan non fiskal bagi usaha galangan kapal nasional. Misalnya, insentif PPN dan tarif khusus bea masuk komponen dan permesinan.

Hal ini, menurut Yugi, diperlukan untuk membangun galangan kapal domestik yang memadai dan berkualitas. Kemudian, agar produksi ikan lebih meningkat lagi, maka diperlukan berbagai kebijakan dan aturan khusus serta pembiayaan dari instansi terkait yang memberikan kemudahan bagi usaha pembuatan kapal ikan ukuran 5GT dan 10GT yang berjumlah 3.500 unit.

"Hal ini termasuk persoalan serius yang hingga kini belum mampu diwujudkan pemerintah," kata dia.

Ketiga, pemerintah juga perlu segera mengumumkan hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan tim Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Pemberantasan Illegal Fishing terhadap perusahaan-perikanan yang menggunakan kapal buatan luar negeri.

"Pasalnya, analisa dan evaluasi sudah berlangsung sejak November 2014. Sudah berlangsung 8 bulan, namun hingga kini belum ada pengumuman. Kalangan dunia usaha ingin mengetahui perusahaan mana saja yang layak dan tidak layak sesuai analisa dan evaluasi tersebut," papar dia.

Keempat, pemerintah diminta untuk segera mengantisipasi dan mencari solusi kekurangan bahan baku yang dialami sejumlah industri pengolahan ikan. "Misalnya dengan memilah ikan hasil tangkapan yang tersimpan dalam cold storage atau refrigerator kapal ikan Indonesia produksi luar negeri, sehingga masalah kekurangan bahan baku dalam jangka pendek ini bisa diminimalisasi," kata Yugi.

Data Bank Indonesia mencatat, Kapasitas Produksi Terpakai sektor perikanan periode triwulan II-2015 sebesar 67,93 persen atau turun 9,89 persen dibanding periode yang sama tahun 2014 lalu.

Kelima, pemerintah juga diminta untuk melakukan penataan sistem logistik perikanan nasional yang terpadu, sekaligus meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil perikanan Indonesia.

Menurut Yugi, implementasi sistem logistik perikanan nasional yang rencananya dilaksanakan mulai 2014, hingga kini belum berjalan. Akibatnya, distribusi ikan dari sentra produksi di luar Jawa ke pabrik pengolahan di Jawa masih belum memadai.

Terakhir, pemerintah diminta rutin melakukan pengawasan terhadap kinerja unit pengolahan ikan (UPI) sebagai langkah mencegah terjadinya praktik kecurangan. Hal ini termasuk melakukan audit berkala untuk memetakan jumlah kebutuhan riil bahan baku industri pengolahan dan jenis-jenis ikan yang dibutuhkan UPI.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015