Saya orang yang sangat terpelajar. Saya tak pernah mengembalikan hadiah
Paris (ANTARA News) - Pernah dikenal salah satu pemain terbesar dunia dan saat ini menjadi orang paling penting dalam sepak bola Eropa, Michel Platini kini membidik posisi utama dalam dunia sepak bola setelah memastikan untuk mencalonkan diri menjadi Presiden FIFA.

Pria Prancis yang adalah cucu seorang imigran Italia yang tahun ini genap berusia 60 tahun dan mengharu biru Eropa sebagai pemain lalu men jadi bos UEFA pada 2007, kini bersiap mengambil tugas besar mentransformasi reputasi rusak FIFA yang tengah dihajar skandal.

Platini kini dianggap sebagai favorit memenangkan pemilihan pengganti Sepp Blatter yang akan diselenggarakan pada 26 Februari 2016.

Jika dia menang, maka akan terserah pada dia untuk mengawasi reformasi reformasi menyeluruh yang dia sendiri telah dia serukan keras-keras. Dan akan tergantung kepadanya untuk membersihkan dan memulihkan organisasi yang tengah melewati krisis terburuk dalam sejarahnya.

Untuk suatu waktu, Platini kemungkinan besar adalah pemain terbesar di dunia dan telah memenangkan Ballon d'Or pada 1983, 1984 dan 1985.

Setelah menjuarai Piala Prancis bersama Nancy dan juara liga bersama Saint-Etienne, dia terpancing ke Juventus pada 1982 dan bersama raksasa Italia itulah dia menjadi bintang internasional yang besar.

Playmaker berbakat ini dua kali menjuarai Serie A bersama klub Turin ini dan sekali Piala Eropa pada 1985, kendati sukses ini dibayang-bayangi oleh Tragedi Heysel yang menewaskan 39 penggemar saat Juventus menghadapi Liverpool di Brussels.

"Final itu membekas dalam kenangan saya, sebagaimana juga membekas dalam kenangan semua orang yang pernah ada di sana, mereka yang kehilangan yang dicintainya, untuk siapa perubahan berubah dalam hitungan menit," kata dia mengenai malam yang tragis itu seperti dikutip AFP.

Momen tercemerlangnya sebagai pemain terjadi sebelum Tragedi Heysel ketika dia menjadi pemain yang luar biasa dengan mencetak sembilan gol untuk timnas Prancis yang menjuarai Piala Eropa di negerinya sendiri.

Piala Dunia, sebaliknya, jauh dari peruntungannya karena Les Bleus kalah pada semifinal 1982 dan 1986.

Sebagai seorang pelatih muda, timnas Prancis yang diasuhnya gagal lolos ke putaran final Piala Dunia 1990 dan lalu tersingkir sejak fase grup Euro 92.

Alih-alih, Platini berkonsentrasi menjadi administratur utama sejak dengan baik berperan sebagai wakil presiden komite penyelenggara Piala Dunia 1998 di Prancis.

Dia mendukung Blatter ketika orang Swiss ini terpilih sebagai Presiden FIFA tahun itu, sebelum menjadi wakil presiden Federasi Sepak Bola Prancis pada 2001 dan kemudian memimpin UEFA pada 2007.

Orang yang berada di balik diperluasnya Kejuaraan Eropa ---putaran final tahun depan di Prancis untuk pertama kalinya akan menghadirkan 24 tim-- percaya bisa menjadi Blatter setelah menarik diri dari pencalonan menghadapi veteran Swiss itu Mei lalu.

Dia dapat mengandalkan dukungan yang luas, namun Platini akan juga menghadapi sejumlah isu pelik, paling tidak keputusannya mendukung Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Keputusan kontroversial FIFA untuk memberikan hak tuan rumah Piala Dunia kepada negara Teluk itu di tengah kekhawatiran perhelatan bakal diadakan dalam cuaca terik Timur Tengah, memicu krisis dalam organisasi FIFA yang berlanjut hingga kini.

AFP melaporkan, Platini mengakui bahwa dia memang memilih Qatar, untuk membuktikan bahwa dia tidak melulu memikirkan Eropa. Pengakuan ini mengundang kecurigaan bahwa dia bisa saja sudah terkorupsi.

"Saya transparan, saya hanya salah seorang dari yang mengungkapkan siapa yang telah saya pilih dan melakukan itu atas prakarsa saya sendiri," kata dia kepada harian olah raga Prancis L'Equipe pada 2014.

"Saya sama sekali tidak menyesal. Saya kira itu adalah keputusan tepat untuk FIFA dan sepak bola dunia," sambung dia mengenai alasannya memilih Qatar seperti dilaporkan AFP.

Platini membantah telah dipengaruhi untuk memilih Qatar oleh mantan presiden Prancis Nicolas Sarkozy, kendati fakta bahwa anaknya Laurent bekerja untuk sebuah perusahaan pakaian olah raga milik Qatar juga membangkitkan kecurigaan.

Dia juga mengundang kontroversi oleh penolakannya mengembalikan jam tangan senilai 25.000 dolar AS yang dihadiahkan oleh Konfederasi Sepak Bola Eropa pada Piala Dunia tahun lalu.

"Saya orang yang sangat terpelajar. Saya tak pernah mengembalikan hadiah," kata Platini, kendati FIFA sendiri menyerunya untuk mengembalikan jam tangan itu demi mematuhi kode etik badan sepak bola dunia itu.


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015