Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) Akbar Faisal mengatakan bahwa para penganut paham radikalisme dan terorisme merupakan generasi yang mundur.

"Seseorang yang memiliki paham ekstrim atau pun radikalisme itu orang-orang yang mundur, artinya mereka itu salah mengartikan apa yang dimaksud radikal," kata Akbar Faisal dalam dialog pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS bersama kalangan perguruan tinggi di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.

"Sebenarnya radikal itu penting asalkan untuk hal-hal yang positif, bukan radikal untuk mencelakai atau merusah sebuah tatanan sebuah negara," katanya.

Untuk mencegah dan memberantas paham radikalisme dan terorisme di Indonesia, menurut Akbar, wawasan kebangsaan masyarakat harus dikuatkan. Ia yakin  jika wawasan kebangsaan masyarakat Indonesia lebih kuat, paham radikalisme dan terorisme tidak akan bisa masuk ke Bumi Nusantara.

Akbar menilai, sebenarnya dengan ideologi Pancasila, generasi muda Indonesia sudah memiliki landasan kuat untuk membendung masuknya paham radikalisme tersebut. Bahkan, menurutnya, sangat kecil ruang bagi generasi muda Indonesia untuk mengikuti dan memiliki paham yang mengarah pada aksi terorisme tersebut.

"Kecil sekali ruangnya untuk hal tersebut karena orang sekarang ini semakin logis. Karena ini sebenarnya itu orang-orang yang bermasalah dengan dirinya, lalu kemudian menarik dirinya seakan menjadi korban dari sebuah sistem. Sebenarnya yang bermasalah itu adalah dirinya sendiri," terangnya.

Menurutnya, penyebab terjadinya aksi terorisme itu setidaknya ada tiga faktor, yakni faktor domestik, faktor internasional dan juga faktor kultural.

Faktor domestik yakni masalah kemiskinan, ketidakadilan, dan kecewa kepada pemerintah menjadi pemicu bagi orang-orang itu bergabung ke kelompok teroris atau ISIS. Lalu faktor internasional karena ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, serta imperialisme modern negara super power.

"Lalu yang terakhir yakni faktor kultural yakni masalah pemahaman sempit tentang kitab suci, terutama Al Quran yang ditafsirkan secara bebas Kitab Suci Agama. Faktor yang terakhir ini yang selama ini sering terjadi dalam tindakan terorisme, mereka selalu mengatasnamakan agama, ini yang selama ini keliru," tambahnya.

Di tempat yang sama, Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Agus Surya Bakti menambahkan bahwa pihaknya selalu aktif melakukan dialog di perguruan tinggi dengan tujuan mencegah pembelokan keyakinan, aqidah, dan pemahaman di kalangan akademisi.

"Ini agar tidak terjadi pemahaman yang salah dikalangan para mahasiswa sehingga jangan sampai terjadi aksi-aksi teror lagi seperti yang pernah terjadi di Indonesia selama ini," kata Agus.

Terkait dengan ISIS, Agus menjelaskan bahwa kelompok itu merupakan sebuah jaringan kekuatan kelompok milisi nasional yang ada di Irak dan Suriah yang saat ini telah menjadi terorisme transnasional baru.

Pada awalnya kekuatan milisi nasional tidak puas pemerintahan pasca Saddam Hussein yang dikuasai kelompok Syiah. Mereka berafiliasi dengan Al-Qaeda atau AQI.

Menurut Agus, IS ini memberikan pengaruh ke  tokoh-tokoh radikal di Asia Tengah  seperti di Kyrgistan, Tajikistan dan Turkmenistan. Bahkan, tokoh Taliban di Pakistan juga sudah bergabung dengan IS. Selain provokasi yang dilakukan oleh Ash Shabaab ke Eropa dan Amerika.

"Bahkan pengaruh IS ke Indonesia melalui tokoh dan kelompok radikal teroris lama," ucapnya

Ia memberikan gambaran mengenai fonomena yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi khususnya beberapa mahasiswa hilang secara misterius dan dikabarkan bergabung ke ISIS. Hal ini terjadi karena propaganda, pengaruh dan ada niat yang sengaja dari kelompok-kelompok terorisme
dan ISIS beserta jaringannya untuk mempengaruhi generasi muda kita.

"Padahal kita tahu bahwa generasi muda adalah kelompok yang mempunyai idealisme yang sangat besar, mudah merespon permasalan yang ada, tidak berfikir panjang. Itu ciri anak muda."

Contohnya mereka meninggalkan kuliahnya untuk melakukan demonstrasi. Lalu mereka bergabung dengan kelompok radikal untuk selanjutnya memahami ajaran agama yang bukan bermanfaat bagi dirinya. Ini yang selama ini keliru, demikian kata Agus.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015