Singapura (ANTARA News) - Harga minyak dunia berbalik bervariasai atau "mixed" di perdagangan Asia pada Kamis, karena penguatan dolar membatasi kenaikan yang dipicu oleh penurunan persediaan minyak mentah AS, kata analis.

Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September turun tiga sen menjadi 48,76 dolar AS per barel dalam perdagangan sore, membalikkan kenaikan di sesi pagi.

Sementara patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman September naik 21 sen menjadi 53,59 dolar AS per barel, memperpanjang keuntungan hari sebelumnya.

Kedua kontrak berbalik naik (rebound) dari kerugian baru-baru ini, ditutup menguat pada Rabu setelah Badan Informasi Energi AS (EIA) mengatakan persediaan minyak mentahnya turun 4,2 juta barel dalam pekan yang berakhir 24 Juli, lebih besar dari ekspektasi turun 200.000 barel.

Sebuah penurunan menunjukkan permintaan kuat dan mendukung harga minyak.

"WTI dan Brent membalikkan kerugian overnight pada Rabu di tengah data pasokan bullish yang dirilis oleh EIA," kata Sanjeev Gupta, yang mengepalai praktek minyak dan gas Asia di organisasi jasa profesional EY.

EIA juga mengatakan produksi minyak AS turun selama seminggu, memberikan beberapa keringanan terhadap kelebihan pasokan minyak mentah global yang telah menekan harga.

Para pedagang juga mempertahankan tab pada rencana Federal Reserve untuk meningkatkan suku bunganya setelah mempertahan suku bunga tak berubah pada Rabu di pertemuan kebijakan terbarunya, tetapi
menyatakan bahwa perekonomian AS membaik.

Dolar naik tipis setelah pertemuan kebijakan The Fed karena meningkatnya harapan bahwa bank sentral AS akan mengumumkan lepas landas pada awal September.

"Pasar akan memantau dengan cermat langkah-langkah Fed, karena kenaikan suku bunga akan berdampak besar pada harga komoditas. Kebanyakan analis memperkirakan kenaikan tingkat suku bunga pertama akan terjadi pada September atau Desember tahun ini," kata Gupta.

Karena minyak diperdagangkan dalam dolar, unit AS yang kuat membuatnya lebih mahal untuk pemegang mata uang lemah, sehingga akan merugikan permintaan dan memperlemah harga.

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015