... menyadap air dari pohon pisang dan pohon jenis peri...
Kupang, NTT (ANTARA News) - Ini bukan berita tentang latihan bertahan hidup di hutan (jungle survival) melainkan kenyataan dalam kekeringan ganas di Kabupaten Sikka, NTT. Sebagian warga di kabupaten di Pulau Flores itu bahkan sudah memanfaatkan pepohonan di sana, hanya sekedar untuk minum. 

Tanpa makanan padat, manusia bisa bertahan dalam bilangan pekan, tapi tanpa cairan memadai, manusia dewasa yang semula sehat wal afiat akan mati dalam bilangan hari saja. Apalagi kalau itu manula dan anak-anak. 

Kemarau panjang kali ini memang lebih panas dari sekedar musim kemarau biasa, dipicu juga El Nino yang menyergap sebagian permukaan daratan dan samudera Bumi. 

Adalah warga di Desa Iligai, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, yang terpaksa mengkonsumsi air dari pepohonan untuk bertahan hidup itu.

"Sejumlah warga di Dusun Baoletet di Desa Iligai, Kecamatan Lela, terpaksa menyadap air dari pohon pisang dan pohon jenis peri," kata Kepala Desa Iligai, Valentino Mayong, dihubungi dari Kupang, Senin.

Menurut dia, pepohonan pisang dan pohon peri itu diyakini masyarakat di Pulau itu dapat menghasilkan air yang banyak sehingga dimanfaatkan untuk masak dan minum. Mata air yang ada di sana sangat jauh pun sudah kering. 

Menurut praktik latihan bertahan hidup, pohon-pohon tertentu memang bisa di-"ambil" airnya untuk dikonsumsi manusia, di antaranya bagian dalam pohon pisang, batang pohon pandan hutan, dan sebagian keladi. Syaratnya, cairan pepohonan itu bebas dari kandungan getah beracun atau pemicu alergi. 

Caranya, pohon itu ditebas dan cairannya ditampung di wadah yang disiapkan atau diarahkan langsung ke mulut. Tentu jangan dibayangkan airnya mengucur deras seperti kita membuka keran air, melainkan menetes pelan-pelan... tes... tes... tes... 

Untuk memenuhi ember ukuran 10 liter bisa belasan jam dan memerlukan berbatang-batang pohon pisang. Harus sabar dan sabar...

Pemerintah setempat bukan berpangku tangan; salah satunya mengerahkan truk-truk tangki air bersih ke pelosok-pelosok di kabupaten itu. Apa daya, uang juga langka di sana sehingga air bersih seharga Rp500.000 sampai Rp1.000.000 per tangki pun masih jauh dari jangkauan tangan sebagian besar warga setempat. 

Alternatif lain memakai sepeda motor mendatangi mata-mata air yang masih lumayan basah, itupun paling dekat lima kilometer dari perkampungan. Yang tidak punya sepeda motor, berjalan kaki berlangit sinar Matahari yang memancar ganas, yang juga membuat tanah atau batu yang diinjak kaki pun ikut-ikut panas. 

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sikka, Silvanus Tibo, yang dihubungi terpisah, mengakui hal itu.

"Kondisi seperti itu terjadi bukan hanya di Kabupaten Sikka, tetapi hampir merata di kabupaten lain di NTT karena iklim dan cuaca serta waktunya (musim kemarau) memang harus terjadi demikian, sehingga tidak perlu panik dan tidak perlu pula dipertentangkan," katanya.

Pewarta: Hironimus Bifel
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015