Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian untuk membongkar dugaan praktik adanya "permainan" bongkar muat peti kemas atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.




"Saya mendukung penuh pihak kepolisian dan KPK untuk mengusut tuntas praktik-praktik 'hitam' yang tersistematis itu sampai ke akar-akarnya. Setidaknya ada 18 kementerian dan lembaga yang mesti dimintai tanggung jawabnya, terutama yang terkait dengan pengawasan," kata Heri Gunawan dalam rilis yang diterima ANTARA News, Jakarta, Senin.




Dia menambahkan, dengan ditetapkannya oknum pejabat sampai Pekerja Harian Lepas (PHL) di Kementerian Perdagangan serta importir oleh Polda Metro Jaya dalam kasus yang sama semakin mengindikasikan bahwa ada permainan dwelling time sudah sistematis. 




"Banyak 'lubang' yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang mencari untung secara tidak wajar. Lubang-lubang" itu ada hampir di semua proses. Mulai dari proses pengurusan izin impor sampai clearance yang menjadi bagian tahapan dwelling time. Lubang-lubang itulah yang kemudian memberi dampak pada lamanya proses bongkar muat sampai keluar pelabuhan. Masa tunggu atau dwelling time itu bisa mencapai 5,5 hari," ujar politisi Partai Gerindra itu.


Sebagai contoh, katanya, barang-barang impor yang belum mendapat izin dari kementerian/lembaga dibiarkan berlarut-larut di Terminal Peti Kemas (Lini 1) sehingga menjadi beban dwelling time. Mestinya barang-barang yang tidak berizin itu, segera dipindahkan ke Tempat Penimbunan Sementara/TPS (Lini 2) agar tidak menjadi beban dwelling time.




"Sayangnya, praktik seperti itu terkesan dibiarkan. Akhirnya, siklus barang yang buruk itu menjadi problem berlarut-larut dan merugikan," sebutnya.




Heri mengatakan Indonesia masih bermasalah serius dengan tata kelola logistik. Berdasarkan data Bank Dunia, peringkat Performance Logistic Index (LPI) Indonesia, masih buruk (peringkat 53). Sementara, negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia (posisi 25), Thailand (posisi 35), bahkan Singapura bisa mencapai peringkat 5 dunia. Ini jelas memprihatinkan.




Pemerintah seperti Kemendag, Kemenperin, BKPM serta institusi terkait Bea Cukai dan Cukai, Sucofindo, dan lainnya, tidak boleh hanya diam dan saling lempar tanggung jawab. Mereka yang paling bertanggung jawab atas lamanya dwelling time di pelabuhan-pelabuhan.




"Kalau saja kementerian dan lembaga itu solid dan berkoordinasi dengan baik sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing, maka mestinya beban dwelling time bisa diminimalisir. Tapi, sepertinya ada 'permainan' di sana," katanya.




Dia mengemukakan masalah dwelling time bukan perkara enteng. "Buruknya dwelling time berdampak pada waktu pengiriman yang berlarut-larut, dan lain sebagainya, yang ujungnya berdampak pada tingginya biaya. Harga jual produk akan lebih mahal karena pengusaha harus membayar biaya tambahan seperti biaya penyimpanan. Ujungnya, harga produk tidak pernah bisa bersaing."




"Kerugian finansial yang disebabkan dwelling time juga tidak kecil. Bisa mencapai rp 3.000 triliun akibat manajemen yang buruk. Hal itu terjadi karena manajemen logistik seperti dwelling time terkait erat dengan rantai supply dan kepastian waktu kirim bagi produsen dan eksportir. Itu akan sangat menentukan besarnya biaya transaksi ekspor-impor," katanya.




Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015