Jombang, (ANTARA News) - Sejumlah wartawan peliput Muktamar Ke-33 NU berseloroh bahwa Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3-7 Agustus 2015 akan bisa selesai lebih dulu dibandingkan dengan Muktamar ke-33 NU di Jombang pada 1-5 Agustus 2015.

Seloroh atau kelakar di sela kepenatan mengikuti sidang tata tertib muktamar di Jombang itu agaknya merujuk pada proses penetapan mekanisme pemilihan dengan "Ahlul Halli wal Aqdi" atau AHWA (musyawarah untuk mufakat) atau pemilihan langsung yang alot.

Pembahasan yang molor hingga hampir dua hari itu pun diakui Panitia Muktamar ke-33 NU. "Paling lambat tanggal 6 Agustus, rangkaian muktamar ini selesai," kata Panitia Daerah Muktamar NU H Saifullah Yusuf di Media Center, Jombang, Senin (3/8) malam.

Saifullah yang akrab dipanggil Gus Ipul menyebut, jika lebih dari itu, maka panitia tidak sanggup. "Salah satunya sekolah yang difungsikan sebagai media center. Kasihan siswa karena belajarnya terganggu, ini saja sudah diliburkan seminggu," ujarnya.

Dengan selesainya sidang pleno pembahasan Tata Tertib pada Senin (3/8) pukul 15.30 WIB yang mulai dibahas sejak Tanggal 2 Agustus 2015, ia mengharapkan proses selanjutnya dalam muktamar bisa berlangsung lebih lancar atau kondusif.

Ya, Pasal 19 Tata Tertib Muktamar ke-33 NU tentang AHWA untuk memilih Rais Aam, itulah yang menjadi penyebab molornya sidang Tata Tertib hingga hampir dua hari, sehingga wartawan pun berseloroh bahwa Muktamar NU di Jombang adalah "Muktamar AHWA".

Alotnya pembahasan AHWA itu pula yang mengindikasikan kepentingan elite NU yang mengedepan hingga kepentingan warga NU terkait pembahasan materi Organisasi, Bahtsul Masail, Program Kerja, Rekomendasi, dan Islam Nusantara pun tertunda hingga dua hari.

Pembahasan yang berlarut-larut dari segelintir elite NU yang diduga memiliki kepentingan politik praktis untuk skala regional dan nasional dengan mengebiri pengurus cabang se-Indonesia, itu akhirnya disudahi oleh Rais Aam PBNU KH Mustofa Bisri (Gus Mus) selaku pimpinan tertinggi dari organisasi ulama itu.

Gus Mus mengambil "jalan tengah" dengan melakukan rapat tertutup dengan Rais Syuriah dari PWNU se-Indonesia, lalu Gus Mus berfatwa di arena sidang pleno muktamar dengan harapan jalannya muktamar di tempat kelahiran NU ini berjalan dengan lancar.

"Saya dan kiai sepuh serta Rais-rais Syuriah prihatin dengan situasi ini. Di sini NU didirikan, apa kita mau meruntuhkannya di sini juga," kata Gus Mus sambil menitikan air mata.

Tidak hanya itu, Gus Mus dengan segala kerendahan hati pun memohon maaf atas semua yang terjadi justru ketika dirinya menjadi Rais Aam.

"Doakan ini adalah kali terakhir saya menjabat (Rais Aam), tapi selama saya menjabat, tolong dengarkan saya. Ingat, NU lebih besar dari masalah tetek bengek seperti ini, jadi pikirkanlah kelangsungan NU agar kita bisa memberi kontribusi pada negara dan dunia," tuturnya.

Dalam fatwanya, Gus Mus merujuk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Pasal 41 Ayat 1 yang mengamanatkan pemilihan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat, jika tidak bisa (akan dilakukan) dengan pemungutan suara atau voting.

"Jika ada pasal yang belum disepakati dalam Tata Tertib, maka akan dilakukan pemungutan suara oleh para Rais Syuriah, karena itu pemilihan ketua umum itu langsung dengan muktamirin, sedangkan untuk Rais Aam itu oleh para Rais Syuriah," ucap Gus Mus melontar usulan (jalan tengah) dalam Sidang Pleno tersebut.

Dengan keputusan tersebut, isi dari Pasal 19 Tata Tertib Muktamar ke-33 NU yang awalnya mengamanatkan penggunaan AHWA untuk memilih Rais Aam pun berubah menjadi pemungutan suara oleh para Rais Syuriah.

Usulan Gus Mus itu akhirnya ditawarkan Ketua SC Muktamar Ke-33 NU H Slamet Effendy Yusuf kepada muktamirin yang langsung menyetujui, dan agenda muktamar pun bisa berlanjut pada sidang-sidang komisi pada empat pesantren di Jombang.

"Sekarang AHWA kelihatannya tidak mungkin, tapi tahun 2020 mungkin saja kalau disepakati dalam muktamar kali ini," kata Wakil Ketua Umum PBNU Asad Said Ali di sela bedah buku tentang KHA Wahab Chasbullah di Pesantren Tambakberas, Jombang (3/8).



Pelajaran Elite NU

Polemik AHWA yang diduga terkait kepentingan pencalonan dalam Muktamar Ke-33 NU dan mungkin juga kepentingan politik praktis di tingkat regional dan nasional itu, agaknya dapat menjadi pelajaran penting bagi elite NU untuk mengutamakan umat dan ulama.

Hal itulah yang dilontarkan pengamat NU dari Utrech University, Belanda, Prof Martin van Bruinessen, saat berbicara dalam diskusi bertajuk "Menjelang Satu Abad: Quo Vadis NU" di Universitas KH Hasyim Asyari (Unhasy), Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, 1 Agustus 2015.

Dalam diskusi dengan pembicara lain Prof Emeritus Mitsuo Nakamura (Chiba University, Jepang) dan Prof Haris Supratno (Wakil Rektor Unhasy) itu, ia menyatakan NU memerlukan pemimpin kharismatik yang mengutamakan pemberdayaan "akar rumput" dan tidak mementingkan elite.

"Kiai Sahal Mahfudh merupakan tipe ulama kharismatik terakhir, tapi saya optimistis muktamirin bisa menemukan ulama kharismatik itu dalam muktamar kali ini," imbuh Indonesianis yang sudah menjadi peninjau Muktamar NU hingga delapan kali itu.

Baginya, pemimpin kharismatik itu bukan pemimpin yang semata-mata pintar atau intelektual, karena kiai yang pintar itu sudah banyak dimiliki NU.

"Seperti KH Husein Muhammad, yang melakukan studi ke Mesir, Belanda, tapi dia hanya menantu dari pengasuh Pesantren Arjowinangun," katanya.

Menurut dia, pemimpin kharismatik itu tidak ditentukan dengan mekanisme AHWA atau tidak, karena hal penting adalah pengurus NU harus kembali pada pemberdayaan masyarakat kecil, sebab jika mementingkan elite akan membuat NU mudah diperalat orang luar.

"Keberpihakan kepada masyarakat kecil itu bukan hanya pemberdayaan secara langsung, namun juga bisa menolak kebijakan liberalisasi ekonomi atau sumberdaya alam," tambahnya.

Senada dengan itu, Indonesianis dari Chiba University, Jepang, Prof Emeritus Mitsuo Nakamura menilai tradisionalisme itu bukan kelemahan NU, melainkan justru menjadi inti dari keberadaan NU.

"Tradisionalisme itu bukan berarti NU itu kolot, tertinggal, dan semacamnya, namun kalau NU meninggalkan tradisionalisme itu justru bukan NU lagi. Yang penting, tradisi itu tetap dipertahankan dengan menggali khazanah yang non-tradisi," cetusnya.

Terkait kepentingan umat NU yang disinggung kedua Indonesianis itu, Awan PBNU Mohammad Nuh berpendapat NU membutuhkan transformasi organisasi menuju 100 tahun NU (1926-2026) agar organisasi itu bisa mewarnai "wajah" dunia Islam.

"Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1-5 Agustus 2015 merupakan momentum kebangkitan NU setelah kelahiran pada 1926," kata mantan Mendikbud itu kepada Antara di Jombang, Jawa Timur, 1 Agustus 2015.

Ia menegaskan bahwa kebangkitan kedua itu akan terjadi ketika NU berusia 100 tahun pada 2026, yang kondisinya berbarengan dengan kebangkitan Asia.

"Untuk menyiapkan kebangkitan kedua NU yang berjalan dengan baik, ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan dengan mengacu pada komitmen awal pendirian NU," tuturnya.

Menurut mantan Rektor ITS Surabaya itu, pendirian NU diawali oleh pendirian tiga organisasi yang berkomitmen pada pemberdayaan masyarakat. Ketiganya adalah Nahdlotul-Wathon (1916), Taswirul Afkar, dan Nahdlotul Tujjar (1918).

"Karena itu NU perlu memperkuat pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat dalam tiga bidang utama, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi," tukasnya.

Tiga organisasi awal lahirnya NU agaknya perlu menjadi pelajaran bagi elite NU untuk berani melihat diri sendiri, apakah di tiga bidang itu sudah cukup punya produk dan kontribusi yang ikonik atau belum, sehingga kepentingan masyarakat NU lebih mengedepan dan tidak "dikorbankan" untuk suksesi kepemimpinan.

Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015