Jakarta (ANTARA News) - Penggunaan antibiotik yang tidak bijak bisa menimbulkan resistensi atau kekebalan terhadap antimikroba sehingga kemampuan antibiotik dalam mengobati infeksi dan penyakit menjadi menurun.

Bila begini, pengobatan menjadi lebih sulit untuk dilakukan dan membutuhkan biaya kesehatan yang lebih tinggi, kata guru besar farmakologi FKUI, Prof. DR. dr Rianto Setiabudy.

"Oleh karena itu, dokter perlu mendidik pasiennya. Jelaskan mengapa ia memberi atau tidak antibiotik, sehingga pasien berusaha untuk melindungi diri dari resistensi itu," ujar Rianto dalam satu seminar di Jakarta, Rabu.

Dalam forum yang sama, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), dr. Hari Paraton, Sp.OG(K), menegaskan tak semua penyakit perlu ditangani dengan memberi antibiotik.

"Luka kecil-kecil tidak perlu antibiotik, operasi payudara yang ada benjolannya, tidak perlu pakai antibiotik," kata Hari.

Menurut Hari, penggunaan antibiotik semata hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan infeksi kuman dan bakteri, seperti typus dan disentri amuba.

"Kalau penyakit karena infeksi kuman, bakteri, harus pakai antiobiotik seperti tipes, disentri amuba. Tetapi di dunia ini, 70 persen penyakit kan karena virus, biarkan saja menderita panas dingin selama lima hari, paracetamol saja cukup, tidak perlu pakai antibiotik," tutur dia.

Hari mengatakan, dalam tubuh manusia ada miliaran kuman yang tersebar pada beberapa bagian tubuh.

Kuman-kuman ini justru akan bereaksi saat orang mulai mengonsumsi antibiotik.

"Antibiotik yang kita makan itu menginisiasi terjadinya proses resistensi. Di dalam tubuh ada miliran kuman tetapi dia tenang-tenang saja. Tidak apa-apa. Berbeda kalau kita minum antibiotik, mulai berulah dia," kata Hari.



Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015