Kenangan menyakitkan masih diingat oleh banyak warga Hiroshima, di Jepang yang 70 tahun lalu menjadi sasaran serangan bom atom dalam Perang Dunia II.

Bom atom tersebut dijatuhkan oleh pesawat tempur Amerika Serikat pada pukul 08.15, tanggal 6 Agustus 1945, meledak dengan kilatan cahaya yang membutakan 600 meter di atas pusat kota Hiroshima dan dalam sekejap menghanguskan, merubuhkan, melelehkan dan membakar bangunan, benda-benda mati pepohonan, manusia dan satwa.

Dikisahkan bahwa pada 28 Juli tahun tersebut, Jepang menolak perintah untuk menyerah kepada sekutu yang diumumkan dalam Deklarasi Postdam di AS, Inggris dan Tiongkok dua hari sebelumnya.

Akibatnya, Angkatan Udara AS segera melaksanakan perintah menjatuhkan bom atom yang ditandatangani Jenderal Thos T.Handy, pejabat Kepala Staf Angkatan Udara Amerika Serikat kepada Jenderal Carl Spaatz, pemimpin Komando Strategis AU Amerika Serikat, tertanggal 25 Juli.

Bom berbentuk silinder yang dijuluki dengan nama "bocah laki-laki kecil" (sebelumnya disebut "Orang Kerempeng") itu berisi uranium 235 yang memiliki daya perusak massal. Kekuatannya setara 20.000 ton peledak TNT, namun penelitian atas kerusakan pada Hiroshima menyimpulkan bahwa kekuatan bom saat itu setara 16.000 ton. TNT

Hingga akhir Desember 1945, pemerintah kota Hiroshima mengumumkan 140.000 orang meninggal seketika dan setelah menjalani perawatan, tetapi banyak korban yang beberapa waktu kemudian terpapar berbagai penyakit radiasi dan luka bakar, serta penderitaan batin yang berkepanjangan. Jumlah penduduk kota diperkirakan 290.000 jiwa, menurun drastis akibat suasana perang, dan banyak yang mengungsi meninggalkan tempat tersebut.

"Saya tidak pernah bisa melupakan suasana saat itu, ketika kota runtuh dan terbakar, orang-orang pun menjadi korban dengan luka fisik yang amat mengerikan," kata Keiko Ogura, salah seorang penyintas yang saat itu berusia sekitar tujuh tahun.

Ogura sekarang bekerja sebagai relawan dengan aktivitas menerjemah kisah-kisah tragis bencana bom atom itu serta memberi kesaksian dan memandu para tamu di Taman Kenangan dan Perdamaian Hiroshima.

"Kami menceritakan kembali tragedi tersebut semata-mata untuk mengingatkan manusia mengenai bahaya dan dampak mematikan dari senjata nuklir." ujarnya ketika akhir tahun lalu bertemu sejumlah wartawan dari Asia Pasifik.

AS menyediakan dana tak terbatas untuk riset dan percobaan pembuatan bom atom dalam proyek yang dinamakan "Manhattan Project" dan uji coba pertama senjata nuklir tersebut pada 16 Juli 1945 di dekat gurun Alamogordo, New Mexico, kemudian kapal perang USS Indianapolis meninggalkan San Fransisco menuju kepulauan Mariana di Hawaii dengan mengangkut uranium 235 serta bagian-bagian dari bom atom yang akan dijatuhkan ke Hiroshima.

Dalam surat perintah pengeboman ke Jepang itu, ditetapkan kota- kota yang akan dijatuhi bom nuklir adalah Hiroshima, Kokura, Niigata dan Nagasaki, namun setelah Hiroshima, pada 9 Agustus bom atom berbahan plutonium 239 dijatuhkan di atas kota Nagasaki.

Jepang segera menyatakan menyerah dalam peperangan dan tragedi bom atom itu menjadi penutup perang dunia II, yang juga menjadi tahun kemerdekaan bagi Republik Indonesia yang sebelumnya diduduki Jepang.

Hiroshima yang makmur
Hiroshima adalah kota yang dibangun di atas delta sungai Ota, dan dikenal sebagai kota makmur pada masa Edo (1603-1868) dan setelah Restorasi Meiji kota tersebut ditetapkan sebagai ibu kota prefektur yang berkembang sebagai kota pendidikan, budaya kemudian juga sebagai kota militer.

Bencana bom atom telah membuat kota Hiroshima terpuruk habis, ledakan nuklir yang terjadi pada Senin pagi itu mengirimkan suhu panas di udara yang diperkirakan mencapai sejuta derajat Celsius, sementara bom yang ada sebelumnya hanya menciptakan panas tertinggi 5.000 derajat celsius.

Hawa panas di darat khususnya di pusat bom atom dijatuhkan mencapai 3.000-4.000 derajat celsius, melelehkan seperti lahar panas gunung berapi, bahkan 600 meter di luar pusat ledakan (hypocenter) genting-genting keramik juga meleleh, bangunan kayu hangus dan terbakar serta di beberapa tempat yang jauh tersisa bayangan-bayangan bekas radiasi.

Kerusakan yang amat parah membuat banyak orang memperkirakan kota tersebut tidak akan pernah pulih, pepohonan yang rusak tidak akan tumbuh dalam 75 tahun, tetapi penduduk kota yang berjiwa tangguh, segera pulang dari tempat mengungsi dan kembali membangun kotanya ketika keadaan sudah memungkinkan, demikian tertulis pada buku "The Outline of Atomic BombDamage in Hiroshima".

Selain membangun kembali kehidupan, Kota Hiroshima juga membangun Taman Perdamaian di bekas lokasi pusat kerusakan, dilengkapi dengan museum, taman doa, monumen perdamaian anak dan banyak sekali monumen yang didekikasikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa dalam proses pertolongan.

Bangunan bekas Balai Pameran Industri Hiroshima, salah satu ikon kota itu dengan bentuk atap kubah yang unik, dipugar dengan membiarkan sisa kerusakan yang membuat gedung itu bagai "kerangka" menjadi penanda keganasan perang.

Bangunan tersebut kini dijuluki sebagai Kubah Bom Atom dan menjadi warisan Pusaka Dunia UNESCO sejak 1996.

Taman Perdamaian Hiroshima hingga saat ini menjadi daya tarik kota, banyak wisatawan khususnya pelajar yang mengunjungi tempat tersebut untuk belajar sejarah dan berdoa.

"Ketika berada di Taman Perdamaian Hiroshima saya menyadari betapa dahsyat serangan bom itu, saya bahkan menangis ketika memasuki museum dan melihat benda-benda peninggalannya," kata Arif, pemuda asal Jawa Timur yang pernah mengikuti program magang kerja di Jepang.

Berbeda dengan perkiraan sebelumnya, pepohonan cemara tumbuh subur dan berwarna hijau abadi di atas lahan tersebut, berdampingan dengan pepohonan yang lain dan penataan taman yang indah, sudah mengubur sisa kerusakan yang pernah terjadi, tetapi taman kenangan menjadi penanda, bahwa senjata nuklir harus dijauhkan dari manusia.

"Kami giat berkampanye antisenjata nuklir, bahkan kepada para pengunjung juga kami sampaikan," kata perempuan paruh baya yang menjadi relawan sebagai pemandu di Taman Perdamaian.


Oleh Maria D Andriana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015