... jangan ditelantarkan. Jangan-jangan nanti generasi muda malah tidak tahu sama sekali di mana proklamasi dibacakan...
Jakarta (ANTARA News) - Soekarno, sang proklamator dan "Sang Putra Fajar" pernah mengatakan, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya". Monumen-monumen kemudian dibangun untuk mengenang peristiwa penting sejarah bangsa-bangsa, termasuk bangsa kita, bangsa Indonesia.

Pada umumnya, peristiwa paling penting suatu negara adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kemerdekaannya. 

Di Amerika Serikat, contohnya, ada Liberty Bell, monumen peringatan berupa bel kemerdekaan yang hingga kini masih terawat baik di Philadelphia, Pennsylvania. Di Indonesia, kita memiliki Monumen Proklamasi di Jalan Proklamasi, Menteng Jakarta Pusat.

Kawasan monumen itu penting karena menjadi saksi bisu kemerdekaan Indonesia. Di kawasan yang dulunya bernama Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 itu, pada17 Agustus 1945 sekitar pukul 10.00 WIB, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia disaksikan Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, Trimurti. Juga Ibu Fatmawati, yang menjahit Sang Saka Merah Putih pertama, dengan kedua tangannya. 

Kemudian Sang Saka Merah Putih, yang telah dijahit Ibu Fatmawati pun dikibarkan, disusul sambutan  oewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Dari semua literatur yang ada, pembacaan proklamasi kemerdekaan digambarkan sebagai upacara sakral yang sederhana, serba mendadak namun khidmat dan menggelora.

Kini, 70 tahun kemudian, Pegangsaan Timur Nomor 56 di Jakarta Pusat itu sudah menjelma menjadi kawasan monumen seluas sekitar empat Hektare dengan tiga monumen; Tugu Petir, patung perunggu raksasa Soekarno-Hatta, dan satu marmer hitam bertuliskan Naskah proklamasi, serta Tugu Wanita.

Tak ada lagi rumah Soekarno yang berandanya terpampang di buku-buku sejarah, melatarbelakangi Soekarno berpeci dan berbaju putih membaca teks proklamasi.

"Rumahnya sudah dibongkar sekitar 1979, saya juga tidak tahu persisnya seperti apa, khan saya lahirnya pada 1961, tapi kira-kira letaknya ada di belakang Tugu Petir itu," kata Sugandi, koordinator keamanan dan kebersihan kawasan Tugu Proklamasi, di Jakarta, Senin. 

"Iya, kira-kira di situlah pembacaan proklamasi dulu pernah dilakukan," kata dia, menunjukkan lokasi pembacaan teks proklamasi pada www.antaranews.com, di Jakarta, Senin.

Tidak seperti Liberty Bell yang wujudnya masih sama sejak abad ke-18 (4 Juli 1776), kawasan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 sudah berubah, sehingga bagi beberapa orang, "Kesan magis-nya kurang terasa," demikian menurut salah seorang pengunjung monumen, Muhamad Ali (22).

"Saya berharap masih bisa melihat rumah Soekarno sama seperti di buku-buku sejarah, tapi pas ke sini yang dilihat cuma monumen. Rasanya beda. Apalagi kok kesannya enggak sakral ya, karena di sini suka dipakai untuk main bola anak-anak," kata Ali.

Pemeliharaan kawasan monumen ada di bawah tanggung jawab Unit Pengelola Kawasan (UPK) Monas, namun Sugandi mengakui ada beberapa kendala yang membuat tidak maksimal pemeliharaan. Salah satunya pencairan dana operasional di tingkat DKI Jakarta.

"Sepertiga pagar kita belum diperbaiki jadi kalau hari libur atau sore hari anak-anak kampung masih suka main bola di sini, mereka masuk lewat belakang. Kalau kami larang para orang tua suka enggak terima, mau bagaimana, ini kan tempat bersejarah, harusnya sih tidak dipakai seperti itu," kata Sugandi.

Betul, di sekitaran Tugu Proklamasi memang berderet rumah-rumah gedong bekas orang penting pada masanya, di antaranya rumah almarhum Bang Ali, bekas gubernur DKI Jakarta Raya yang paling dikenal orang. Rumah-rumah di sana memang mahal-mahal dan gedongan semua. 

Tapi jangan lupa, ada juga kawasan kumuh dan tempat-tempat usaha pinggir jalan berserakan. Taruhlah usaha cuci mobil yang begitu saja ada di pinggir jalan, belum lagi pojokan ojek nongkrong dan pedagang asongan. 

Sugandi menambahkan, akibat dana yang tertunda, monumen kurang bersolek. "Harusnya pohon-pohon ini ditambah, lampunya juga beberapa mati dan membuat kawasan kurang terang. Ini DKI lho, harusnya sih dipercantik seperti Monas itu."

Saat ini, monumen sedang dikonservasi. Konservator, Erwin Sugiarto, menemukan beberapa kerusakan akibat perilaku pengunjung.

"Kadang pengunjung ini datang, berfoto sambil bersandar. Kakinya naik berpijak pada tugu sehingga menyebabkan tugu kotor, sayang sekali. Ini khan tempat bersejarah," kata dia. 

Patung perunggu itu dibuat secara istimewa dan perunggu tidak perlu diapa-apakan lagi kecuali dibersihkan. Sejak lama perunggu patung itu malah dicat. 

Banyak pengunjung sama sekali tidak menunjukkan respek dan penghargaan seharusnya terhadap nilai kesejarahan lokasi itu. Dari sanalah Indonesia resmi merdeka, bebas dari penjajahan selama ratusan tahun. 

Selain itu, kata Erwin, terdapat sekitar 70 keramik yang terlepas dan sudah tak diproduksi lagi jenisnya. "Ada juga beberapa aksi vandalisme berupa corat-coret cat warna hitam, merah dan biru di permukaan marmer." Siapa yang bertanggung jawab menegakkan aturan itu? 

Padahal, setiap hari kawasan tersebut dijaga sekitar 15 orang petugas keamanan yang bekerja dalam tiga shift, serta 10 petugas harian lepas kebersihan, satu mandor dan tiga orang PNS.

Bukan hanya keadaan kawasan monumen yang memprihatinkan, Gedung Perintis Kemerdekaan atau yang dikenal sebagai Gedung Pola yang letaknya tak jauh dari kawasan terlihat sangat kumuh.

Di halaman depan, tampak tumpukan sampah dibiarkan begitu saja, tanaman banyak yang kering tak terawat, dinding cat terkelupas dan ditumbuhi tanaman menjalar membuat gedung terlihat menyeramkan.

Di bagian belakang yang menghadap kawasan Monumen Proklamasi, terdapat banyak barang rongsokan di lantai dasar.

"Kalau Gedung Pola itu bukan wewenang kami. Itu milik Sekretariat Negara, kami pernah meminta agar wewenang memelihara Gedung Pola diserahkan pada DKI, tapi belum tahu kelanjutannya seperti apa," kata Sugandi.

Ali, salah seorang mahasiswa dari Universitas Budi Luhur berharap, pemerintah lebih memperhatikan pelestarian tempat-tempat bersejarah seperti kawasan Pegangsaan Timur 56 tersebut.

"Walaupun sudah rata tanah, dan diubah menjadi monumen seperti ini, setidaknya pemerintah bisa merawatnya dengan baiklah, jangan ditelantarkan. Jangan-jangan nanti generasi muda malah tidak tahu sama sekali di mana proklamasi dibacakan," kata Ali.

Sebelum membacakan naskah proklamasi, Soekarno sempat membacakan pidato singkat tanpa teks, menurutnya: "Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya."

Ingatan melayang sejenak ke Korea Utara... Terlepas dari dia negara komunis-otokratis atau bukan, namun sikap manusianya terhadap kebesaran pendiri bangsa sangat mengagumkan. Tidak ada yang mau berisik atau menyelak antrian saat akan masuk ke pintu musoleum Kim Il-sung. 

Juga di Monumen Trafalgar, Inggris, yang memajang HMS Victory, kapal komando Lord Horatio Nelson, pahlawan bahari mereka. Walau Inggris sangat liberal masyarakatnya, namun mereka takzim di lingkungan bersejarah itu... 

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015