Jakarta (ANTARA News) - Untuk pertama kalinya Presiden Joko Widodo di masa pemerintahannya menyampaikan Pidato Pengantar RUU RAPBN 2016 beserta Nota Keuangan pada Rapat Paripurna DPR-RI di Gedung MPR/DPR-RI, Jakarta, Jumat.

Di hadapan 470 dari 680 anggota MPR, Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta jajaran Menteri Kabinet Kerja, mantan presiden dan para undangan duta besasr negara sahabat dan undangan lainnya, Presiden Joko Widodo tampak percaya diri membacakan pidato terkait berbagai hal di bidang ekonomi.

Mulai dari pencapaian, angka-angka yang akan menjadi target dan asumsi perekonomian yang akan disasar dalam setahun ke depan, jangka menengah dan jangka panjang. Mulai dari besaran penerimaan negara, alokasi belanja negara, hingga kebijakan yang akan ditempuh untuk merealisasikan berbagai program pembangunan demi meningkatkan kualitas serta memeratakan kesejahteraan ekonomi rakyat.

Pada kesempatan pertama, Presiden langsung mengumumkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 sebesar 5,5 persen.

Meskipun angka tersebut lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi 2015 yang ditetapkan 5,7 persen, Presiden Jokowi mengaitkannya kondisi perekonomian global, domestik, serta prospek ekonomi nasional, dan termasuk asumsi ekonomi makro.

Pada pidato RAPBN berdurasi sekitar 30 menit tersebut, Pemerintah menetapkan pendapatan negara sebesar Rp1.848,1 triliun, sedangkan belanja negara menembus angka Rp2.121,3 triliun. Dengan begitu mengalami defisit sebesar Rp273,2 triliun atau 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Dalam asumsi ekonomi makro, tingkat inflasi dipatok pada tingkat 4,7 persen, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 5,5 persen.

Harga minyak mentah sebesar 60 dolar AS per barel, produksi migas 1,98 juta barel per hari terdiri atas produksi minyak bumi (lifting) 830.000 barel per hari dan produksi gas bumi 1,55 juta barel setara minyak per hari.

Adapun penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.565,8 triliun, naik 5,1 persen dari target APBN-P 2015, dengan rasio pajak (tax ratio) ditetapkan sebesar 13,25 persen.

Dari sisi eksternal perekonomian masih diliputi ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat yang menetapkan suku bunga acuannya. Harga komoditas serta tren perlambatan ekonomi China juga menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia menetapkan level pertumbuhan di 5,5 persen tersebut.

Sementara dari sisi internal, pemerintah masih optimistis terhadap pembangunan infrastruktur yang akan digenjot di sektor pertanian, industri pengolahan dan investasi sektor swasta bakal membantu pencapaian target tersebut.

Meski demikian, Presiden Joko Widodo mengatakan optimis dapat melalui berbagai goncangan ekonomi.

Saat ini siklus perekonomian global maupun nasional kurang menggembirakan, namun goncangan ekonomi seperti itu bukanlah yang pertama kali dirasakan masyarakat Indonesia.

"Selama ini kita terjebak pada pemahaman bahwa melambannya perekonomian global, yang berdampak pada perekonomian nasional adalah masalah paling utama. Padahal, kalau kita cermati lebih seksama, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, sekali lagi, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, juga berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan penetapan asumsi dasar ekonomi makro RAPBN dilakukan berdasarkan perkembangan ekonomi terkini.

"Kita berbicara APBN tahun depan, tapi kita mencari asumsi yang serealistis mungkin sesuai perkembangan terkini, tanpa meninggalkan optimisme," kata Menkeu.

Pemerintah memberikan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, karena kondisi perekonomian global tahun 2016, berdasarkan perkiraan dari lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF) akan lebih baik dari 2015.

Tahun 2016, global prediksinya 3,8 persen, padahal tahun ini hanya 3,3 persen. Perkiraan setengah persen lebih tinggi dari tahun ini untuk pertumbuhan global, angka yang sangat besar. Ini menunjukkan secara eksplisit ada optimisme 2016 akan lebih baik.

Ia menambahkan angka 5,5 persen tersebut juga masih sesuai dengan batas bawah 5,5 persen-6,0 persen yang sebelumnya telah diputuskan dalam pembahasan pendahuluan RAPBN 2016 antara pemerintah dengan DPR RI.

Selain itu, asumsi nilai tukar rupiah yang diputuskan Rp13.400 per dolar AS, sesuai dengan perkembangan ekonomi global yang saat ini terpengaruh dengan rencana penyesuaian suku bunga The Fed serta aksi devaluasi Yuan Tiongkok.

"Kita ambil kurs itu, dengan harapan tahun depan AS sudah lebih settle dengan kebijakan The Fed, dan Tiongkok menemukan tingkat tukar yang lebih pas, sehingga gejolak tidak seperti sekarang. Saat ini kurs Rp13.400 yang paling reasonable," kata Menkeu.

Untuk asumsi laju inflasi ditetapkan sebesar 4,7 persen, dengan pertimbangan masih adanya fluktuasi nilai tukar rupiah serta fenomena El Nino yang bisa menyebabkan kekeringan dan berdampak pada musim panen awal tahun 2016.


Subsidi dan Infrastruktur

Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo mengakui di awal pemerintahannya telah mengambil kebijakan yang tidak populer dengan cara mengalihkan subsidi BBM, namun hal itu ditempuh untuk mengalihkan perilaku konsumtif menjadi produktif yang diharapkan dalam jangka panjang akan berbuah manis.

"Saya memahami, kebijakan Pemerintah seakan-akan tidak berpihak kepada rakyat. Namun moral politik saya mengatakan saya harus bertindak dan menghentikan praktik-praktik yang tidak benar," kata Jokowi.

Langkah awal yang ditempuh adalah mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke sektor-sektor produktif dan jaring pengaman sosial, selanjutnya juga menata jalur pengadaan dan distribusi BBM.

Ia mengilustrasikan, pada tahun 2014 sekitar Rp240 triliun subsidi BBM hanya dibakar di jalan-jalan, hanya dibakar-bakar dan dinikmati oleh jutaan mobil pribadi; bukan dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di gunung-gunung, di pesisir-pesisir, di pulau-pulau terpencil, atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Di bidang infrastruktur, sejalan dengan program Nawacita, Pemerintah saat ini terus mempercepat pembangunan infrastruktur dengan meningkatkan alokasi anggaran sebesar Rp313,5 triliun, atau sekitar 8 persen dari total belanja negara yang mencapai Rp2.121,3 triliun digunakan antara lain untuk pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan dan bandara, bandara perintis agar konektivitas dan pemerataan antarwilayah menjadi lebih baik.

Dari sisi penerimaan, Pemerintah siap mengoptimalisasikan penerimaan pajak dengan target sebesar Rp1.565,8 triliun melalui kebijakan perpajakan tanpa mengganggu iklim investasi dunia usaha.

Kebijakan perpajakan juga diarahkan untuk meningkatkan stabilitas ekonomi nasional dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat, serta meningkatkan daya saing dan nilai tambah industri nasional.


Perubahan Paradigma

Untuk mencapai berbagai target yang ditetapkan, Pemerintah menekankan bahwa saatnya melakukan tranformasi fundamental perekonomian nasional dengan mengedepankan perubahan paradigma pembangunan yang tadinya bersifat konsumtif menjadi bersifat produktif.

"Konsolidasi demokrasi sudah kita raih. Kini saatnya menjaga kepentingan nasional untuk melakukan transformasi ekonomi," kata Jokowi.

Pembangunan harus dimulai dari pinggiran dari daerah dan desa-desa dengan meningkatkan produktivitas sumber daya manusia dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan digerakkan oleh sikap mental kreatif, inovatif dan gigih.

Tanpa keberanian melakukan lompatan itu, maka tidak akan mampu meletakkan fondasi pembangunan ekonomi nasional yang kokoh, yang mandiri secara ekonomi dan menegakkan kepentingan nasional.

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dalam pidatonya mengatakan sudah banyak yang bisa dicapai di bidang ekonomi, namun belum sepenuhnya dapat dinikmati secara adil dan merata.

Menurut Irman, saat ini Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang menjadi salah satu ukuran ekonomi menunjukkan bahwa posisi Indonesia kita terus meningkat.

"PDB Indonesia masuk dalam peringkat 16 besar ekonomi dunia," ujarnya.

Meski begitu ditambahkan Irman, ekonomi yang kian besar tersebut belum sepenuhnya dapat dinikmati masyarakat secara adil dan merata.

Ia menjelaskan, lambannya penyerapan APBN dan APBD juga menjadi pemicu meningkatnya pengangguran maupun kemiskinan.

"Saat ini masih dirasakan betapa beban hidup rakyat makin berat, terjadi kenaikan harga barang dan kebutuhan pokok," ujarnya.

Senada dengan itu, Ketua DPR RI Setya Novanto menginginkan pemerintah berhati-hati dalam menghadapi kondisi perekonomian global serta menjadikan APBN 2016 sebagai stabilisator pembangunan untuk kesejahteraan bangsa.

"APBN 2016 sebagai instrumen nasional diharapkan dapat berperan sebagai stabilisator bagi pembangunan," kata Setya Novanto.

Ketua DPR juga mengemukakan, dalam situasi ekonomi global yang terus bergolak maka diharapkan pengelolaan anggaran ke depannya juga dapat lebih berhati-hati.

Pemerintah juga diharapkan dapat menjaga pasokan dan stabilitas harga kebutuhan pokok sehingga memberikan ketenangan bagi masyarakat.

Untuk melaksanakan revitalisasi data dengan akurat agar target APBN dapat tercapai serta program subsidi akan tepat sasaran.

Sedangkan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengatakan, Indonesia mesti beralih dari fokus mengekspor sumber daya alam ke penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas guna menunjang beragam pembangunan sektor penting, yaitu pangan, energi dan transportasi.

Ia mengingatkan, mengingatkan bahwa pada dekade 1990-an, Indonesia masih mengandalkan kepada ekspor komoditas sumber daya alam mentah seperti perkayuan.

Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia juga penting memiliki transportasi pangan dan energi yang dapat mendorong produktivitas serta menciptakan lapangan kerja serta menciptakan SDM berkemampuan tinggi.

Direktur Institute for Development of Economic and Finance Enny Sri Hartati menilai pemerintah harus mempersiapkan kebijakan untuk merespon asumsi nilai tukar rupiah dalam RAPBN 2016 sebesar Rp13.400 per dolar AS.

"Asumsi rupiah Rp13.400 bukan lagi soal realistis atau tidak, tapi bagaimana policy response" dari pemerintah untuk mencapainya pada tahun depan," ujar Enny.

Enny mencontohkan seperti Tiongkok yang melakukan kebijakan devaluasi Yuan untuk meningkatkan kinerja ekspor negara tersebut.

Pemerintah seharusnya sudah mulai mempersiapkan berbagai kebijakan untuk mendorong ekspor memanfaatkan depresiasi nilai tukar rupiah.

"Pemerintah harus mempercepat industri substitusi impor dan mempercepat hilirisasi industri untuk ekspor," kata Enny.

Menurut Enny, pada semester II 2015 pemerintah harus sudah mempersiapkan ancang-ancang dan fokus melakukan dua hal tersebut. Terkait ekspor, Indonesia diharapkan tidak lagi terus mengandalkan ekspor komoditas yang hingga kini harganya masih relatif menurun.

Oleh Royke Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015