Mataram (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Barat menyebutkan kerusakan hutan di provinsi itu sudah mencapai 78 persen, dan jika itu terus terjadi diprediksi dalam waktu 10 tahun lagi daerah itu tidak lagi memiliki hutan.

"Laju kerusakan hutan di NTB ini berada di level 1,4 persen atau minimal rusak 60 hektare pertahun. Bahkan, kami prediksi dalam kurun waktu 10 tahun lagi hutan di NTB sudah habis," kata Direktur Eksekutif Walhi NTB Muhammad Murdani di Mataram, Rabu.

Menurut dia, saat ini luasan hutan di NTB sudah mencapai 1,67 juta hektare dengan tutupan lahan sebesar 22 persen atau setara dengan 400 ribu hektare. Sedangkan, total kerusakan hutan 22 persen berada di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan sisanya di luar kawasan sebesar 40 persen.

"Hutan lindung yang tersisa diluar taman nasional hanya sedikit, karena selebihnya sudah rusak atau berubah fungsi menjadi lahan-lahan perkebunan milik masyarakat," terangnya.

Dia menuturkan, dengan kondisi tersebut, pihaknya mendorong agar Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Kehutanan provinsi untuk segera melakukan upaya penyelamatan. Karena jika tidak segera ditanggulangi, maka prediksi NTB akan kehilangan hutan dalam kurun waktu 10 tahun kedepan bisa menjadi kenyataan.

"Ada tiga upaya yang harus segera dilakukan pemerintah, yakni segera melakukan perencanaan strategis dalam pengelolaan hutan, libatkan masyarakat secara partisipatif dalam mengawasi hutan, dan memberdayakan masyarakat, khususnya yang berada di lingkar hutan, sehingga bisa menekan laju pembabatan hutan," jelasnya.

Lebih lanjut, dia menyatakan, saat ini di kawasan hutan tanam rakyat sudah tidak terdapat kayu. Bahkan, di Kabupaten Lombok Timur terdapat 700 hektar lahan hutan di kawasan hutan lindung sudah dalam kondisi rusak parah.

"Ini ironis, luas kawasan hutan kita tidak bertambah luasnya, tetapi justru perambahan yang semakin meluas dan menjadi-jadi," imbuhnya.

Dia menambahkan, rusaknya kawasan hutan di NTB itu, tidak terlepas dari perambahan hutan yang dilakukan oleh para pelaku illegal logging. Termasuk, untuk dipakai untuk bahan bakar omprongan tembakau.

Hal ini cukup beralasan, mengingat masyarakat khususnya petani tembakau di NTB kesulitan mendapatkan bahan bakar ditengah harga tidak adanya lagi minyak tanah bersubsidi. Bahkan, untuk satu ruang oven tembakau, para petani rata-rata menghabiskan 2,8 sampai 3 kubik kayu.

"Saat ini masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses bahan bakar jenis lain, setelah harga minyak tanah tidak lagi di subsidi. Sedangkan, harapan mereka terhadap cangkang kemiri dan cangkang sawit tidak bisa diharapkan, mengingat stoknya yang sedikit, akhirnya tidak jalan lain mengambil kayu. Belum lahan hutan sudah di dominasi perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri," kata dia.

Karena itu, tidak ada jalan lain, pemerintah harus secepatnya melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan laju kerusakan hutan. Termasuk perlibatan aparat baik TNI, Polri dalam melakukan pengawasan harus bisa lebih diperketat.

"Yang tidak lupa juga harus di tegaskan, yakni hukuman bagi para pelaku perambahan hutan," tandasnya.

Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015