Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini, seharusnya korupsi sudah tidak ada lagi.

Dia mengemukakan alasannya adalah dalam berdemokrasi semua menjadi terbuka. Kalaupun saat ini terlihat masih banyak korupsi, menurut dia, hal itu karena keterbukaan demokrasi membuat masyarakat bisa melihat, membaca dan mengomentarinya.

"Sistem otoriter tertutup, karena tertutup maka di dalamnya ada korupsi. Dan karena ada korupsi di dalamnya bangsa ini menuntut demokrasi. Lalu kita bangun sistem demokrasi sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang full demokratis. Sistem demokrasi itu artinya sistem terbuka atau terbentuk open society. Ketika sistem ini terbuka, maka ketidaksempurnaan sistem itu terbaca dan dikomentari. Efeknya, harusnya korupsi hilang," ujar Fahri Fahri dalam diskusi Menimbang Eksistensi KPK di Jakarta, Kamis..

Kasus korupsi terlihat banyak terbongkar sebenarnya bukan penanda bahwa korupsi merajalela tapi lebih karena sistem demokrasi yang membuka semua hal.

"Korupsi itu tidak naik jumlahnya. Cuma sekarang lebih kelihatan karena keterbukaan. Dulu kalau ada orang yang korupsi, kita hanya bisa mengumpat saja, sekarang kan ditindak. Dulu korupsi triliunan tidak ada yang urus, sekarang kan beda," jelasnya.

"Sekarang ini korupsi dianggap besar dan meluas karena definisi korupsi juga dilebarkan kemana-mana. Terima parcel dianggap korupsi, grativikasi dianggap korupsi, daftar kekayaan dianggap korupsi. Padahal Nabi Muhammad pun mengajarkan kepada umatnya untuk saling memberi hadiah," jelasnya.

Sesuai UU 30 tahun 2002 tentang KPK, KPK memiliki tugas utama, yakni koordinasi dan monitoring lembaga yang ada. Makanya menurut Fahri jaksa dan penyidik KPK adalah dari polisi dan kejaksaan.

"Lantas untuk apa mengambil alih tugas Kepolisian dan Kejaksaan? Kan lebih baik kerja bersama polisi sehingga urusan korupsi bukan cuma menjadi urusan Rasuna Said (Gedung KPK) saja," kata Fahri.

KPK itu, tambahnya, seharusnya bekerja sama dengan Ombudsman dan juga 126 lembaga negara lainnya, tapi yang terjadi, KPK justru mengambil semua pekerjaan lembaga lain.

Menurut Fahri, ketidakberesan dalam keuangan negara seharusnya dilacak dengan audit dan bukan dengan alat sadap.

"Lihat saja bagaimana laporan BPK tidak pernah ditindaklanjuti oleh KPK dan malah menyadap tanpa aturan. Harusnya KPK itu bergerak dari hasil audit BPK atau BPKP dan bukan menyadap. Yang jelas hasil audit tidak ditindaklanjuti, tapi yang tidak jelas malah disadap.Yang namanya korupsi dasarnya itu audit bukan penyadapan," tegasnya.

Terkait anggaran KPK, Fahri juga menilai tidak efektif karena pengeluaran untuk memberantas korupsi jumlahya tidak seimbang dengan jumlah uang negara yang diselamatkan.


Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015