Kuala Lumpur (ANTARA News) - Gejolak pasar dunia saat ini memiliki kemiripan-kemiripan dengan krisis ekonomi yang melanda Asia pada awal 1997: yakni adanya tekanan terhadap mata uang regional, memburuknya outlook perdagangan dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Namun sekalipun ada terpaan akibat gejolak pasar saham dan mata uang di Asia belakangan ini, pengalaman menyakitkan 18 tahun silam yang menjadi pelajaran berharga Asia telah membuat kawasan ini jauh lebih bisa menahan gejolak-gejolak hebat, kata para ekonom seperti dikutip AFP.

Memang akan menyakitkan, terutama jika mesin ekonomi global Tiongkok tergelincir ke perlambatan yang makin dalam dan meluas sehingga membatasi permintaan-permintaan komoditas-komoditas pasar ekonomi berkembang yang kebanyakan menjadi pemasok Tiongkok.

Namun yang kali ini sangat berbeda dari krisis 1997, di mana rezim pematokan nilai mata uang pada kurs tetap  sudah ditinggalkan, perekonomian Asia semesetinya menjadi semakin pejal, bukannya tercerai berai.

Sebelum 1997 pemerintah negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan mematok nilai mata uangnya terhadap dolar AS dalam nilai kurs tetap.

Ini mendorong mengalirnya "uang panas" dari luar negeri yang spekulatif ke perekonomian negara-negara itu, yang memicu menggelembungnya harga saham dan properti, selain membuat perekonomian yang tengah dibangun menjadi tidak setimbang.

Namun manakala pertumbuhan melambat dan sentimen berubah merugikan investasi-investasi yang dianakemaskan rezim, mata uang negara-negara itu menjadi di bawah tekanan hebat sehingga memaksa pemerintah membelanjakan miliaran dolar cadangan devisi untuk menstabilkan mata uangnya.

Akhirnya, pematokan mata uang ditinggalkan dan perekonomian pun menjadi amburadul.

"Setelah itu, keseluruhan sistem ambruk. Tetapi sekarang di mana tidak ada pematokan nilai kurs, tingkat nilai tukar bisa menjadi pendorong,  layaknya katup penyelamat," kata Song Seng Wun, ekonom CIMB Private Banking.

"Itulah perbedaan paling penting saat ini."

Lebih kuat

Krisis 1990-an silam telah mengekspos penyimpangan dalam sistem pengawasan keuangan, khususnya dalam perbankan dan pinjaman.  Kini sebagian besar masalah ini telah ditangani.

"Semua itu sungguh memperkuat kemampuan dalam menahan guncangan. Ini bukan tentang mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama," kata Rajiv Biswas, kepala ekonom Asia-Pasifik IHS.

"Namun salah satu masalah besar saat ini adalah apakah Asia bisa menahan guncangan dari krisis besar dan berlarut-larut di Tiongkok."

Perekonomian di seluruh Asia dan pasar berkembang telah menjadi tergantung kepada permintaan Tiongkok untuk produk-produk eskpor  mineral, kayu, sumber energi dan komoditas lain dari mereka.

Namun pertumbuhan ekonomi Tiongkok tengah melambat sehingga memicu tekanan jual di pasar berkembang karena investor global berusaha mencari investasi lebih aman seperti dalam bentuk asset-asset AS.

"Brasil jelas rentan karena menjadi eksportir penting komoditas-komoditas seperti bijih besi dan kedelai ke Tiongkok, dan mengingat perekonomiannya sudah terkena resesi," kata Biswas.

Negara-negara lain seperti Chile, Rusia, Afrika Selatan dan Malaysia sudah menghadapi perlambatan ekspor.

Pertumbuhan ekonomi tahunan Tiongkok yang melesat sampai 10 persen telah mengereknya menjadi perekonomian terbesar kedua di dunia.

Tetapi tahun ini pertumbuhan itu melambat sampai 7 persen, dan langkah Beijing baru-baru ini mendevaluasi yuan telah membuat mata uang lainnya tertekan dan memunculkan kecurigaan bahwa perekonomian negara ini  sebenarnya lebih buruk dari yang dikira orang selama ini.

"Saya tidak mengharapkan sesuatu seperti krisis keuangan 1997, tetapi jika Tiongkok mengalami hard landing dan pertumbuhannya melemah selama bertahun-tahun, maka itu akan bermasalah bagi Asia," kata Biswas.

Kebanyakan nilai mata uang Asia memang anjlok terhadap dolar AS tahun ini, dipimpin ringgit Malaysia yang amblas 34 persen ke level terendah dalam 12 bulan.

Namun fundamental ekonomi Asia tetap jauh lebih kuat dibandingkan dengan 18 tahun silam, dan pada satu titik melemahnya mata uang malah membantu ekspor kawasan ini, kata Song dari CIMB.

"Segala sesuatunya melambat tetapi belum kepada tingkat yang membuat perekonomian Asia mengalami resesi, oleh karena itu saya tidak khawatir," kata dia.

Keyakinan sama diutarakan pelaku pasar saham Malaysia bernama Lok Eng Wah, yang pada 1997-1998 pernah menderita rugi luar biasa banyak.

"Krisis saat ini tidak akan seburuk (tahun 1997)," kata Lok (60).

Namun dia mengakui agak menjauhi pasar efek. "Saya menantikan  datangnya momentum naik, tapi saat ini semua momentun sedang ke bawah."

Sumber: AFP


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015