Jakarta (ANTARA News) - Jenderal Soedirman menjadi buronan nomor satu saat bergerilya usai serangan agresi militer kedua Belanda yang menghancurkan Yogyakarta pada 1948.

"Dimas di sini saja, bersama kami," kata Soekarno yang  memanggil Soedirman dengan nama panggilan sesaat sebelum sang jenderal memutuskan untuk mulai bergerilya.

"Tidak bisa, saya ini tentara..." tukas Soedirman yang tetap bertekad melindungi negara meski badannya ringkih karena paru-parunya tersisa satu akibat tuberkolusis.

"...Jadikanlah ini perang gerilya semesta," kata Soekarno, mengantarkan awal perjuangan Soedirman menjaga kedaulatan Republik Indonesia dari tengah hutan.

Dan perjuangan gerilya Soedirman selama tujuh bulan menempuh seribu kilometer pun dimulai...

Film "Jenderal Soedirman" mengisahkan perjalanan gerilya sang pahlawan bersama  anak buah serta dokter pribadinya untuk mengumumkan pada dunia bahwa Republik Indonesia belum musnah dari kedalaman hutan. 

Tentara Belanda yang jumlahnya banyak dilengkapi persenjataan yang lebih lengkap dan canggih kelabakan mencari Soedirman yang kondisinya lemah dan sakit-sakit hingga harus ditandu oleh anak buahnya.

Melewati sungai yang airnya membuat tubuh menggigil, menembus hutan belantara, bersembunyi dalam gua ketika Belanda melemparkan misil-misil dari udara, menginap di rumah penduduk yang dilewati rute gerilya, Soedirman bersama anak buahnya selalu lolos dari kejaran Belanda.

Berbagai krisis mereka hadapi, mulai dari kucing-kucingan dengan Belanda hingga pengkhianatan dalam tim gerilya akhirnya berakhir saat Soedirman diminta untuk kembali ke Yogyakarta usai Perjanjian Roem-Royen.

Sutradara Viva Westi ingin menghadirkan kisah Jenderal Soedirman dalam kemasan menarik yang diharap dapat menyentuh rasa ingin tahu generasi muda untuk mengenal lebih dekat Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama. Ia ingin anak muda mengenal jasa Soedirman sebagai pahlawan, tidak hanya sekadar ingatan sekilas pelajaran sejarah di sekolah atau nama jalan protokol.

Sisi humanis Soedirman diperlihatkan di film ini, bagaimana dia berinteraksi dengan para warga dan anak buahnya, juga Soedirman sebagai perokok berat. 

Aktor Adipati Dolken dipilih sebagai Soedirman dengan harapan dapat menjadi magnet penonton usia muda. Kendati demikian, sutradara Viva Westi menegaskan kemampuan akting pria 24 tahun yang pernah memenangi piala Citra itu tidak diragukan lagi.

Adipati mengaku terbebani dengan tanggung jawab menghidupkan kembali karakter salah satu pahlawan Indonesia itu. Namun, dia telah berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi "Jenderal Soedirman" meski sempat mengalami kesulitan, seperti tidak ada referensi seperti apa suara Soedirman saat berbicara.

"Saya berusaha semaksimal mungkin dengan observasi itu," kata Adipati.

Subjektivitas tak terhindarkan saat mengadaptasi sejarah ke dalam layar lebar, tergantung dari sudut pandang mana sejarah itu dilihat. Demi menciptakan film seobjektif mungkin, riset diambil dari berbagai sumber, tidak hanya dari satu buku.

TNI AD pun  terlibat sejak penggodokan skenario hingga proses pengambilan gambar.

"Dalam pengembangan skenario, dinas sejarah TNI AD terlibat, juga museum di YogYa dan museum tempat tinggal Jenderal Sudirman, di sana banyak buku," ujar mantan Wakil Kepala Staf TNI AD, Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Kiki Syahnakri, yang menjadi produser Jenderal Soedirman.

"Persenjataan perang seperti senjata-senjata kuno yang dipakai pada masa perang gerilya kemerdekaan, tank kuno, peluru dan bahan peledak juga disediakan oleh TNI AD," imbuh Syahnakri.

Selain itu, para tentara angkatan darat Indonesia juga menjadi pemeran pendukung sebagai para tentara KNIL yang mengejar-ngejar Jenderal Sudirman dalam perang gerilya selama tujuh bulan. 

Westi memang ingin membuat "Jenderal Soedirman" sebagai film sejarah yang keluar dari stereotipe "film berat". Oleh karena itu dia memperbanyak adegan-adegan aksi ketimbang dialog bertele-tele. 

Syuting fillm produksi bersama Markas Besar Angkatan Darat, Yayasan Kartika Eka Paksi, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat dan Padma Pictures selama 45 hari di Jawa Tengah, Yogyakarta, Bandung, Batujajar dan Situ Lembang. 

Film yang dibintangi Ibnu Jamil, Baim Wong, Nugie, Mathias Muchus, Landung Simatupang, Lukman Sardi itu akan tayang di bioskop mulai 27 Agustus 2015.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015