Jakarta (ANTARA News) - Langkah tepat Pemerintah untuk memberikan hak impor 50.000 sapi potong kepada Perum Bulog patut diapresiasi.

Ini merupakan hukuman bagi importir yang tidak amanah dalam mendistribusikan sapi potong sehingga sempat terjadi lonjakan harga daging sapi di Jakarta, Banten dan Jawa Barat.

Tiga provinsi itu selama ini sangat tergantung pasokan dari daerah lain dan dari "feedloter" yang selama ini mendapatkan jatah impor sapi bakalan dari Australia.

BUMN Perum Bulog akan diberi amanat mengambil alih bisnis sapi impor indukan, bakalan, sapi siap potong, bahkan daging beku. Bulog dapat alokasi impor sapi 50.000 ekor.

Pemerintah patut kecewa dengan pihak swasta yang diberi izin impor sapi namun tak mampu membantu mengendalikan harga daging, padahal mereka menikmati bisnis itu sejak 2013 dengan pembebasan kuota impor dari Pemerintah.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), realisasi impor sapi bakalan kuartal I-2015 (Januari-Maret) adalah 97.618 ekor dari target 100.000 ekor. Kuartal II-2015 (April-Juni) terealisasi 201.643 ekor dari target 267.624 ekor. Total hingga Juni 2015, impor sebanyak 298.861 ekor sapi bakalan sudah terealisasi.

Sedangkan kuota triwulan III-2015 memang direncanakan hanya 50.000 ekor karena data statistik menunjukkan angka populasi sapi lokal sudah mendekati angka swasembada daging sapi.

Berdasarkan cetak biru swasembada daging Kementerian Pertanian, pada tahun 2010 pasokan daging dari lokal 195.000 ton (47 persen) dan impor 221.230 ton (53 persen), tahun 2011 yaitu lokal 292.450 ton (65,1 persen) dan impor 156.850 ton.

Tahun 2012 pasokan lokal 299.220 ton (82,5 persen) dan impor 84.740 ton (17,5 persen), tahun 2013 yaitu lokal 449.280 ton (86,2 pertsen) dan impor 72.130 ton (13,8 persen), dan tahun 2014 yaitu lokal 507.060 ton (90,3 persen) dan impor 54.570 ton (9,7 persen).

Dengan angka-angka itu maka tahun 2015 angka pasokan daging lokal diperkirakan sudah mencapai 95 persen, artinya sudah seharusnya pasokan daging dari sapi potong impor juga dibatasi, sekaligus menjaga jangan sampai kelebihan pasokan yang bisa menurunkan harga sapi potong.

Staf Ahli Mentan Bidang Investasi Pertanian Syukur Irwantoro menjelaskan, pada Kuartal I tahun ini, kuotanya tidak terlalu banyak, lalu Kuartal II naik karena ada kebutuhan ekstra di puasa dan hari raya.

Menjelang lebaran sebenarnya Kemendag sudah memanggil "feedloter" agar harga sapi hidup diturunkan, tetapi mereka menolak dengan alasan mereka memerlukan harga jual yang lebih baik karena harga pembelian bakalan juga naik terkait melemahnya rupiah.

Sikap "feedloter" yang tidak sejalan dengan upaya Pemerintah mengendalikan inflasi ini membuat Pemerintah memutuskan untuk memangkas 80 persen kuota bagi importir bakalan sehingga dipatok pada Kuartal III hanya 50.000 ekor.

Akibat pembatasan itu importir mengetahui bahwa pada kuartal III akan terjadi kelangkaan stok dan mereka mulai mengurangi pasokan ke Rumah Potong Hewan (RPH), akibatnya terjadi penurunan drastis jumlah daging yang dipasarkan.

"Jadi, sudah waktunya pemerintah harus hadir untuk ikut mengontrol suplai daging. Instrumen pemerintah yang bertugas menstabilkan harga, ya, Bulog," kata Syukur.

Mitra Peternak Lokal
Bulog harus disiapkan sebagai lembaga penyangga harga daging sapi secara nasional. Namun, tugas itu juga harus disinergikan dengan upaya memberikan pendapatan tambahan bagi petani sehingga sapi yang didatangkan tetap sebagai sapi bakalan.

Kementan mempunyai Program Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO) sejak tahun 2011. Pada program itu kelompok tani diberi ternak sapi, biaya pembuatan kandang, dan biaya pembuatan rumah kompos. Banyak kisah sukses kelompok tani yang mengelola UPPO sehingga program itu harus dipadukan dengan rencana impor sapi bakalan.

Sudah saatnya nilai tambah produk peternakan dinikmati petani, sehingga sektor pertanian semakin menarik bagi masyarakat karena keuntungan yang berlipat.

Rencananya pemerintah membuka kuota sapi bakalan sampai 200.000 ekor pada Kuartal IV sehingga sebagian sapi bakalan itu harus menjadi bagian program kemitraan dengan peternak sapi lokal khususnya di daerah penyangga Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.

Jangan sampai semua sapi bakalan yang diimpor Bulog kembali dikelola "feedloter" yang pada akhirnya sangat menentukan harga jual sapi siap potong.

Lebih baik Kementan dan Bulog segera membuat pola kemitraan Bulog dan peternak lokal untuk menampung sapi bakalan impor, disertai pola tata niaga sapi potongnya sehingga tidak ada lagi cerita peternak lokal yang ditolak RPH.

Peternak lokal harus diberi kesempatan menggemukkan sapi bakalan impor tiga sampai empat bulan sehingga mereka mendapatkan pendapatan dari selisih bobot badan sapi.

Mereka juga dirangsang untuk mengolah urine dan kotoran sapi menjadi pupuk organik karena terbukti usaha itu memberikan nilai tambah yang luar biasa seperti yang ditunjukkan sejumlah kelompok UPPO di Pulau Jawa.

Kisah Sukses
Memang tidak semua kelompok penerima program UPPO berhasil, namun sejumlah kisah sukses kelompok UPPO di Pulau Jawa bisa memotivasi petani bahwa memelihara sapi mempunyai keuntungan ganda yaitu mendapatkan selisih bobot sapi, memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak, memproduksi pupuk organik, dan meningkatkan kesuburan lahan sawah di Jawa yang sebagian sudah kritis akibat penggunaan pupuk kimia.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga menilai populasi sapi Indonesia bisa berkembang karena usaha peternakan sapi itu cukup prospektif, terbukti saat ini tumbuh usaha penggemukan sapi di sejumlah daerah, termasuk yang didorong Kementerian Pertanian melalui Program UPPO.

"Ada kelompok tani yang diberi paket bantuan UPPO mampu mengembangkan usaha tidak hanya penggemukan sapi dan pupuk organik, tetapi juga mengembangkan pakan ternak alternatif dari jerami," katanya menunjuk satu kelompok ternak di Sleman, Yogyakarta.

Sejumlah kelompok ternak yang sukses juga mengungkapkan betapa prospektifnya usaha ternak jika ditekuni dengan sungguh-sungguh.

Kelompok Tani Ternak "Global Lestari" di Desa Banjaranyar, Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, mampu meraih pendapatan sehari dari penjualan kotoran dan urine sapi mencapai Rp22.000 per ekor, sementara pembelian pakan hanya Rp7.000 per ekor.

Menurut Jefri (35), ketua kelompoknya, banyak petani lain yang juga tertarik karena dari hasil jualan urine dan kotoran sapi juga sudah lumayan, sehingga ternak sapi hanya menjadi tabungan setiap empat sampai enam bulan.

Demikian juga UPPO di Desa Salit, Kecamatan Kajen, dan Desa Purwodadi, Kecamatan Sragi, keduanya di Kabupaten Pekalongan, telah mampu meningkatkan populasi sapi kelompoknya sekaligus membuat berbagai pupuk organik baik kompos maupun pupuk cair.

Rata-rata harga kompos di UPPO berkisar antara Rp600 sampai Rp750 per kilogram yang diserap petani setempat.

Lebih Mudah
Kelompok Peternak Ngudi Makmur di Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta, yang juga menerima program UPPO bahkan mampu meningkatkan mutu jerami sehingga menjadi makanan utama ternak sapi mereka.

"Kami sudah mampu memfermentasi jerami dengan ragi yang bisa menggantikan rumput dan juga pakan komplet," kata Ketua Unit Usaha Pakan Kelompok Peternak Ngudi Makmur di Dusun Wonoredjo, Desa Sarihardjo, Totok Sukamto Senin.

Totok Sukamto menjelaskan, dengan fermentasi maka mutu jerami lebih bagus karena kandungan protein lebih baik dan bisa disimpan selama berbulan-bulan.

Kelompok yang pernah meraih juara empat tingkat nasional tahun 2014 itu juga sudah mengembangkan pakan komplet atau "complete feed" untuk sapi yang merupakan gabungan konsentrat dan hijauan sehingga satu ekor sapi cukup mendapat delapan kilogram pakan komplet per hari.

"Pertumbuhan bobot badan dengan pakan komplet itu mencapai tujuh sampai sembilan ons per hari untuk sapi lokal jenis ongol dan bisa 1,2 kilogram per hari untuk sapi turunan simental," katanya.

Kelompok itu juga sudah mengembangkan pupuk kompos dari kotoran sapi dengan produksi rata-rata 500 ton per bulan setelah mendapat bantuan UPPO di tahun 2011.

Penyuluh Peternakan setempat, Rini Tripuspanti, mengatakan, pengenalan teknologi pakan kepada kelompok itu membuat usaha peternakan semakin diminati warga terutama generasi muda.

"Pemuda di sini makin bergairah memelihara ternak sapi karena ternyata dengan teknologi pakan mereka bisa menyimpan pakan untuk satu minggu ke depan dan tidak perlu mencari pakan setiap hari," katanya.

Berbagai kisah sukses itu seharusnya menjadi dorongan bagi petani lain untuk menambah usaha mereka dengan memelihara sapi sehingga swasembada sapi lebih cepat diwujudkan.

Wakil Ketua MPR RI Mahyudin juga menilai Indonesia mempunyai potensi peternakan sapi yang cukup besar.

"Banyak kisah sukses petani yang juga beternak. Hanya diperlukan bantuan bibit, modal usaha atau kredit lunak untuk meningkatkan gairah memelihara sapi," kata Mahyudin yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini.

Ia yakin jika pengembangan ternak sapi di beberapa provinsi mendapat dukungan pemerintah, maka Indonesia tidak lagi perlu impor sapi bakalan karena peternak lokal mampu menyediakan itu. 

Oleh Budi Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015