Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan farmasi seharusnya mempertimbangkan aspek sosial bila memutuskan menaikkan harga obat sebagai dampak melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar (Amerika Serikat), menurut pihak dari Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Darodjatun.

"Obat kan memiliki aspek kesehatan masyarakat, aspek sosial. Jadi, yang saya tekankan mereka melihat unsur ini. Menyadari kurs rupiah ada perubahan, tetapi juga menyadari obat memiliki fungsi kesehatan masyarakat," ujar dia saat dihubungi ANTARA News, Kamis.

Darodjatun mengungkapkan, asosiasi perusahaan tidak memiliki kebijakan menentukan naik atau tidaknya harga obat, karena keputusan harga berada pada perusahaan farmasi masing-masing.

"Sebetulnya, untuk harga, tidak ada kebijakan dari asosiasi, karena yang menentukan masing-masing perusahaan (farmasi)," kata dia.

Kendati begitu, dia menyadari, bahan baku obat yang 95 persen diimpor bukan tidak mungkin membuat perusahaan farmasi menaikkan harga obat produksinya.

"Penurunan nilai rupiah dinilai sangat berpengaruh, karena bahan baku 95-96 persen diimpor. Dengan demikian berpengaruh terhadap harga pokok dan biaya lainnya yang terus meningkat. Dua tahun terakhir," tutur Darodjatun. ",...karena ada yang minta kenaikan luar biasa tingginya, misalnya 30 persen, 25 persen. Itu terlalu tinggilah," tambah dia.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015