Jakarta (ANTARA News) - Organisasi lingkungan global Greenpeace mempertanyakan legalitas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di Batang, Jawa Tengah, karena proses pembebasan lahan untuk proyek itu belum tuntas.

"Peresmian peletakan batu pertama PLTU Batang ini belum bisa dikatakan sah secara hukum karena berbagai persyaratan yang belum terpenuhi," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto, Jumat.

"Peletakan batu pertama proyek ini hanya bisa dilakukan jika proses financial closing sudah selesai, financial closing hanya bisa dilakukan jika PT BPI telah menuntaskan proses pembebasan lahan untuk proyek ini," katanya.

Menurut Greenpeace Indonesia, PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) telah tiga kali gagal memenuhi tenggat waktu penyelesaian seluruh transaksi keuangan terkait proyek, antara lain karena proses pembebasan lahan yang belum tuntas.

"Sampai hari ini, masih ada sekitar 20 hektare lahan yang dipertahankan oleh pemiliknya," ujar Arif.

Arif mengatakan berdasarkan data Greenpeace masih ada 20,7 hektare lahan warga yang proses pembebasannya belum tuntas sementara menurut data pemerintah luas lahan yang proses pembebasannya belum selesai 12,5 hektare.

Menurut dia, puluhan warga mempertahankan lahan mereka karena lahan pertanian adalah sumber penghidupan dan mata pencaharian mereka satu-satunya.

Selain itu ada warga Batang yang menggugat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah mengenai penetapan lahan untuk pembangunan PLTU Batang.

Arif mengatakan selain menimbulkan dampak lingkungan, pengoperasian pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di Batang juga akan membuat ribuan petani penggarap di sekitar lokasi pembangkit kehilangan mata pencarian.

"Ketika PLTU dibangun, masyarakat pemilik lahan dan petani penggarap yang tidak punya kualifikasi teknis untuk bekerja di PLTU tersebut akan kehilangan mata pencaharian. Kalau pemilik lahan mungkin dapat uang, tetapi bagaimana dengan petani penggarap," ujar Arif.

Meskipun sudah dijanjikan ada lahan garapan pengganti, ia menjelaskan, lokasinya jauh dari tempat mereka tinggal dan menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lahan tersebut tidak cocok untuk pertanian.

"Nelayan juga terkena dampak langsung karena daerah tangkapan mereka jadi terbatas akibat proses konstruksinya karena PLTU Batang dibangun di kawasan pesisir sepanjang 2,2 kilometer," katanya.

Sejumlah warga Batang beberapa kali berunjuk rasa menolak pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara di sekitar tempat tinggal mereka. Namun ada pula perwakilan warga yang berunjuk rasa mendukung pembangunan pembangkit listrik tersebut.


Pewarta: Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015