Indonesia sedang menghadapi dua persoalan besar. Pertama, melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang tembus angka Rp14.000 rupiah per dolar. Kedua, musim kemarau berkepanjangan akibat dampak fenomena cuaca Elnino, yang diprediksi akan menghambat kinerja produksi komoditas agro dan perikanan termasuk udang.

Melorotnya nilai tukar mengakibatkan ongkos produksi udang meningkat karena komponen impornya cukup besar, namun masih terimbangi oleh harga jual yang juga meningkat mengikuti nilai tukar, sehingga tidak menjadi persoalan serius.

Musim kering yang berkepanjangan menyebabkan salinitas air (kadar garam) di tambak udang meningkat tajam melampaui batas optimumnya,  demikian pula perbedaan temperatur air antara siang dan malam sangat ekstrim. Selain itu, variabel lingkungan ini akan menyebabkan pertumbuhan udang melambat sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dari biasanya dan biaya yang lebih besar untuk mencapai ukuran tertentu, bahkan di beberapa kasus menyebabkan kematian massal.

Fenomena Elnino ini telah menjadi pengalaman dan menyebabkan sebagian besar pembudidaya udang menunda proses produksi terutama yang menerapkan teknologi konvensional (teknologi sederhana dan semi intensif). Dampak lebih lanjut dari kondisi ini akan menurunkan pasokan bahan baku untuk menggerakkan industri pemroses di sektor hilir dan juga akan mengurangi permintaan benih dan pakan serta sarana-prasarana lainnya di sektor hulu.

Bila kondisi ini berkepanjangan tanpa ada upaya perbaikan, di antaranya pada sisi teknologi budidaya, maka dikuatirkan akan berdampak terhadap pemutusan kontrak kerja (bisnis udang) di sektor hulu maupun hilir yang membuat situasi ekonomi bertambah parah.

Sebagai catatan bahwa untuk memproses bahan baku udang sejumlah satu ton menjadi produk bernilai tambah, diperlukan tenaga kerja sekitar 200 orang, belum termasuk memproses hasil ikutannya.

Teknologi budidaya udang supra intensif yang ditemukan tahun 2011 oleh Dr Ir Hasanuddin Atjo, MP di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, terbukti dapat memproduksi udang secara efisien meskipun pada kondisi iklim yang cukup ekstrim. Teknologi ini dapat menjadi salah satu alternatif pilihan dalam rangka menjaga dan meningkatkan pasokan bahan baku industri hilir guna peningkatan perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja.


Teknologi Supra

Ada empat klasifikasi teknologi budidaya udang, yaitu teknologi sederhana, semi intensif, intensif dan supra intensif. Penerapan teknologi supra intensif dapat mencapai produktivitas 150 ton per ha per musim tanam atau 300 kali dari produktivitas teknologi sederhana; 60 kali teknologi semi intensif serta 10 kali dari teknologi intensif.

Tingginya produktivitas teknologi supra kuncinya antara lain terletak pada lingkungan budidaya (vertikal dan horisontal) yang harus dikendalikan secara terukur. Karena itu, luasan tambak sengaja dirancang berukuran relatif kecil antara 100 sampai 1.000 meter persegi dengan kedalaman air 2,5-3 meter, menggunakan central drain (pembuang limbah mekanis) sehingga udang tetap nyaman meskipun ditebar dengan kepadatan tinggi yakni 1.000 ekor per meter persegi. 

Kini teknologi ini telah berhasil direplikasi di beberapa daerah di Indonesia seperti Sulteng, NTT dan menyusul daerah lainnya. Manfaat lain dari penerapan teknologi supra ini adalah sebagai jawaban dalam mengendalikan laju konversi mangrove dan lahan pesisir lainnya menjadi tambak udang dengan teknologi sederhana yang menuntut lahan lebih luas.

Hambatan terbesar dalam pengembangan industri udang di Indonesia adalah kepastian pasokan bahan baku. Kurun waktu 2011–2014 produksi udang nasional bergerak antara 400-500 ribu ton, dan hampir separuhnya dikonsumsi dalam negeri dan selebihnya diekspor.  Dari total produksi itu sekitar 80 persen adalah kontribusi dari teknologi intensif dan 20 persen lainnya dari tambak teknologi semi intensif dan sederhana, padahal areal tambak intensif nasional tidak sampai 10 persen.

Data tersebut menunjukkan bahwa kinerja industri udang nasional 80 persen ditentukan oleh pelaku usaha teknologi skala intensif yang jumlah pelakunya kecil serta sisanya dari teknologi semi intensif dan sederhana yang jumlahnya jauh lebih besar. Informasi ini tentunya menjadi penting untuk merancang regulasi pengembangan pelaku usaha yang menerapkan empat tingkatan teknologi tersebut.


Peningkatan ekspor

Regulasi peningkatan ekspor tiga kali lipat yang dicanangkan Gubenur Sulawesi Selatan Dr H Syahrul Yasin Limpo beberapa waktu lalu sangat relevan dilakukan di tengah gejolak ekonomi nasional saat ini dan dalam upaya membangun daya saing.

Sulawesi Selatan sangat beralasan untuk melakukan rencana itu karena telah memiliki semua aspek pendukung yang dimulai dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia bertalenta bahari, kemampuan berinovasi, penghasil konsep pembangunan pertanian, sejumlah lembaga riset dan lembaga pendidikan sampai kepada ketersediaan infrastruktur pelabuhan laut dan udara terbaik di kawasan timur.

Rencana peningkatan ekspor termasuk udang adalah salah satu langkah cerdas meredam laju penurunan nilai tukar bahkan berperan sebagai upaya pemulihan. Hanya saja yang diperlukan adalah bagaimana meramu atau merancang sebuah skenario agar stakeholders terkait memiliki visi dan kemauan yang sama sehingga obsesi ekspor tiga kali lipat dapat direalisasikan.

Komunikasi yang intens oleh internal pemerintah serta antarpemerintah dan swasta menjadi kunci guna menyusun rencana aksi dan implementasi. Tentunya kita tidak lagi menginginkan konsep itu lahir di Sulsel, tetapi besar dan lebih sukses di tempat lain seperti yang terjadi pada beberapa konsep besar sebelumnya antara lain Lappo Asse, Perwilayahan Komoditas, Petik Olah dan Jual serta Gerbang Emas.

Untuk meningkatkan ekspor udang tiga kali lipat, strateginya adalah meningkatkan (1) produksi budidaya setidaknya menjadi enam kali lipat; (2) efisiensi industri hilir (prosessing) melalui re-investasi peralatan mesin, peningkatan kapasitas pabrik serta  pengembangan inovasi produk nilai tambah; (3) daya tarik lembaga keuangan untuk membiayai; dan (4) regulasi maupun intervensi Pemerintah. 

Merealisasikan rencana ini diperlukan peningkatan kapasitas pelaku usaha yang sudah ada serta rekruitmen pelaku usaha baru yang berorientasi kepada penerapan teknologi maju. Kehadiran sebuah inkubator bisnis dan inkubator inovasi sangat diperlukan guna melahirkan pelaku usaha dan operator atau tenaga teknis yang berparadigma industrial.  Selain itu diperlukan jaminan keamanan berinvestasi dari Pemerintah termasuk legalitas formal tata ruang wilayah pesisir. 

Lembaga keuangan sudah harus lebih berani membiayai komoditas udang ini, karena terbukti beberapa debitur yang berkualifikasi baik bergerak dari usaha udang yang berorientasi kepada penerapan teknologi terukur.

Kiranya dapat segera dilakukan dialog secara inklusif antarstakeholders sebagai peserta “Orkestra Symphoni” agar terbangun kesamaan nada dan gerak dibawah koordinasi “dirigen” dari Pemerintah untuk merespons rencana ekspor tiga kali itu.  Peran media menjadi strategis untuk memediasi lahirnya dialog itu.

*) Ketua Shrimp Club Indonesia Wilayah Sulawesi dan penemu teknologi budidaya udang Supra Intensif Indonesia (SII)

Oleh DR Ir Hasanuddin Atjo, MP *)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015