Jakarta (ANTARA News) - Sembilan anggota panitia seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menyelesaikan tugas mereka.

Mereka telah menyerahkan delapan nama yang lolos tes wawancara dan kesehatan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Selasa.

Presiden menyatakan delapan calon pemimpin KPK dibagi jadi empat kelompok, yang berkaitan pencegahan; penindakan; manajemen; serta supervisi, koordinasi, dan monitoring.

"Sehingga ke depan ada kombinasi dari itu," kata Joko Widodo.

Di bidang pencegahan ada Saut Situmorang (Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara) dan Surya Tjandra (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya).

Bidang penindakan diisi Alexander Marwata (Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Basaria Panjaitan (Widyaismara Madya Sespimti Polri).

Agus Rahardjo (Kepala Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah) dan Sujanarko (Direktur Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi KPK) masuk bidang manajemen serta Johan Budi Sapto Pribowo (Plt Pimpinan KPK) dan Laode Muhamad Syarif (Lektor FH Universitas Hasanudin) di bidang supervisi dan monitoring .

Bagaimana komitmen antikorupsi delapan nama calon pimpinan KPK tersebut? Beberapa hal terkuak saat mereka menjalani tes wawancara pada 24-26 Agustus 2015.

Saut Situmorang

Saut pernah menjabat sebagai Sekretaris III Kedutaan Besar RI Singapura (1997-2001), Dosen Pascasarjana Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesia pada program Studi Ketahanan (2004-sekarang), Direktur Monitoring dan Surveillance Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2011-2014.

Dengan pengalaman panjang Saut di bidang intelijen, juru bicara Panitia Seleksi Betti Alisjahbana menanyakan agenda tersembunyi Saut saat mendaftar sebagai calon pemimpin KPK.

"Tidak ada agenda Bu, diri saya persis tidak ada agenda. Agendanya ya pemberantasan korupsi," jawab Saut pada tes wawancara 26 Agustus 2015.

Saut pun menuturkan bahwa dia pernah menerima pertanyaan yang sama ketika mendaftar sebagai Ketua KPK tahun 2007. Saut mengaku kali ini merupakan kali keempat dia mendaftar sebagai calon pemimpin KPK.

Pertama mendaftar lolos sampai 10 besar, kedua sampai proses administrasi, ketiga administrasi saja tidak lulus, dan sekarang masuk 15 besar.

"Saya harus bertanggung jawab dengan apa yang saya ajarkan ke murid-murid saya di UI," kata Saut.

"Anda punya mobil mewah?" tanya Betti lagi.

"Saya enggak tahu apa Rubicon itu mewah. Saya sebenarnya enggak suka mobil itu, tapi istri yang beli. Katanya biar keren, mami kasih uang muka, saya cicilannya, nomor polisinya B 54 UT," jawab Saut.

"Kalau rapat katanya enggak boleh bawa handphone? Katanya takut bocor?" tanya anggota panitia seleksi Diani Sadiawati.

"Saya nanti kasih buku Bu, hanya orang yang curiga lah yang tetap survive, sehingga saya katakan, handphone tidak boleh dibawa ke tempat kerja, terbukti apa yang terjadi dengan Abraham Samad," jawab Saut.

"Karakter BIN kan curiga, akan curigai empat komisioner juga?" tanya Diani.

"Akan ada beberapa SOP (Standar Operating Procedure) yang akan kita bikin, ada banyak, kalau keluar rumah bagaimana, kalau bepergian bagaimana, nanti kita buat," jawab Saut.

"Hubungan dengan Luhut Panjaitan dan Andi Widjajanto bagaimana?" tanya anggota panitia seleksi Harkristuti Harkrisnowo.

"Pak Luhut itu Dubes saya, paling dia akan bilang kalau saya keras kepala dan tidak bisa diatur," jawab Saut.

"Apakah selama menjadi intel, Bapak punya perusahaan? Perusahaan jelas? Karena ada informasi bahwa perusahan itu tidak jelas dan menjadi sarana pencucian uang?" tanya anggota panitia seleksi Yenti Garnasih, pakar pencucian uang.

"Ada (perusahaan) tapi tidak melakukan kegiatan apa pun. Saya terkutuk dan mati kalau perusahaan itu saya gunakan. Perusahaan tidak lain hanya untuk mengakses informasi, tidak sama sekali sebagai sarana pencucian uang," jawab Saut.

Perusahaan itu adalah PT Indonesia Cipta yang bergerak di bidang competitive intelligent.


Surya Chandra

Surya Chandra adalah seorang pengacara publik sekaligus Direktur Trade Union Rights Center dan juga dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya.

Ia sejak awal bekerja aktif di bidang advokasi di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sebagai Kepala Divisi Perburuhan (1997-2000), Wakil Direktur Bidang Umum (2000-2001) dan Wakil Direktur Bidang Operasional (2002-2003).

Pertanyaan panitia seleksi pun mengarah mengenai aktivitasnya yang berlatar belakang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

"Menurut Anda KPK bukan LSM, tapi Anda berlatar LSM, bagaimana ini?" tanya anggota panitia seleksi Natalia Subagyo yang juga lama berkarir di LSM antikorupsi Transparansi Internasional.

"Gerakan KPK itu melampaui kepentingan, harus sadar politik, tapi jangan jadi politisi, perlu ada pemberesan kualitas penuntutan, penyidikan, dan penyusunan dakwaan," jawab Chandra.

"Tapi Anda di kampus memprovokasi mahasiswa?" tanya Enny Nurbaningsih.

"Dalam artian memprovokasi untuk kebaikan iya, saya senang mahasiswa kritis," jawab Chandra.

"Anda tim sukses presiden terpilih, bagaimana bisa memisahkan?" tanya Enny.

"Saya seperti Jokowi, Bu, tidak merasa punya utang ke siapa pun," jawab Chandra.

Namun mengenai cara menjaga diri dari intervensi politik, Chandra hanya menjelaskannya secara normatif.

"Bahkan pada tempat paling buruk sekalipun, ada orang baiknya, kami sendiri para pimpinan, jelas clear, harus sangat paham politik, tapi tahu diri kapan harus berhenti," kata dia.

"Pimpinan KPK harus bersih dari ego, tahu batas harus berhenti di mana. Kita bikin kode etik baru, pimpinan KPK tak boleh bicara ke media, jubir kita tambah jadi empat, pimpinan temui DPR, Kejaksaan, dan Polri," tambah Chandra.

"Empat jubir dapatnya dari mana?" kejar Enny.

"Karena kolektif kolegial maka akan berbeda-beda standarnya, maka semua pimpinan akan memiliki pilihan (jubir) sendiri," kata Chandra.

"Ikut LSM biayanya dari mana?" tanya Betty Alisjahbana.

"Dari serikat buruh Jerman dan serikat buruh Belanda. Mereka mendukung kami untuk serikat buruh, mereka cuma periksa soal keuangan," jawab Chandra.


Alexander Marwata

Calon pemimpin KPK Alexander Marwata sudah tiga tahun menjadi hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, setelah menjalani profesi sebagai auditor ahli di Badan Pengawas Keuangan Pembangunan.

Periode 1989-2011 dia tercatat sebagai orang yang sering mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan.

"Oleh pengamat, Anda dianggap sering membuat dissenting opinion sehingga tidak pantas menjadi pimpinan KPK?" tanya Betty Alisjahbana saat wawancara pada Senin (24/8).

"Itu harusnya jadi koreksi KPK atau kejaksaan dalam membuat tuntutan. Mereka introspeksi dong. Saya bikin dissenting detail sekali berdasarkan fakta persidangan. Saya rajin membuat catatan," kata dia.

"Pegangan saya fakta di dalam persidangan, tidak bisa pakai opini koran. Masa menghakimi orang yang sudah diberitakan dengan bumbu bombastis itu?" tambah Alexander.

Sebelumnya Alaxander tercatat sebagai hakim yang sering menyatakan pendapat berbeda dalam berbagai sidang perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Dia antara lain tidak menyetujui seluruh harta mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang didakwakan oleh KPK sebagai bagian pencucian uang.

Alexander juga tidak menyetujui dakwaan bahwa mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah memberikan izin pemberian uang Rp1 miliar kepada Akil Mochtar untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan calon bupati Lebak Amir Hamzah dan Kasmin.

Terakhir, Alexander tidak setuju bahwa mantan Direktur PT Soegih Interjaya (SI) Willy Sebastian Lim memberikan uang 190 ribu dolar AS kepada Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) Suroso Atmomartoyo terkait penjualan Tetraethyl Lead (TEL) pada 2004-2005b dalam sidang 29 Juli 2015.

"Bagaimanapun perkara yang disidang Tipikor berasal dari dakwaan. Kalau dakwaan asal-asalan dengan cara pembuktian yang tidak profesional? Perkara yang diajukan KPK seolah-olah KPK tidak bisa berbuat salah. Saya beberapa kali dissenting, tidak hanya Akil," ungkap Alexander.

Namun Alexander mengakui bahwa meski ia sering berbeda pendapat itu bukanlah masalah bagi hakim yang lain karena ia membuat putusan dengan profesional.

"Saya coba meyakinkan keadilan antara masyarakat dan terdakwa. Saya berada di tengah, tidak dalam posisi membela masyarakat dan terdakwa," tambah Alexander.

Alexander pun mengaku tidak pernah menerima gratifikasi selama menjalankan tugasnya sebagai hakim.

"Saya tidak pernah satu kali pun berhubungan dengan yang berperkara. Saya masih pulang ke rumah naik kereta jam 12.00 (malam), tidak ada masalah. Saya tidak ada hambatan psikologis, rekor saya sampai jam dua pagi sidang," jelas Alexander.

Ia pun tidak mempermasalahkan bila ia tidak menjadi pemimpin KPK nantinya karena ia masih memiliki pekerjaan, apalagi dengan pengalamannya sebagai auditor korupsi selama 20 tahun.

"Modus korupsi makin berkembang dengan kemajuan IT (Information Technology). Saya selaku auditor forensik kalau jadi pimpinan KPK maka hal itu yang akan saya kembangkan. Saya beberapa kali bekerja dengan polisi dan kejaksaan. Menurut saya, auditor itu ujung tombak," ungkap Alexander.

Alexander pun cenderung akan memperkuat pencegahan agar dapat menyelamatkan uang negara lebih banyak.

Menurut dia, proses pengungkapan hingga persidangan kasus korupsi menelan biaya yang tidak sedikit. Apalagi tidak semua uang yang dikorupsi bisa dikembalikan ke kas negara.

"Saya lebih menyoroti aspek pencegahannya, dan penyelamatan uang negara jauh lebih besar, jauh lebih murah biayanya," ungkap Alexander.


Basaria Panjaitan

Nama Basaria Panjaitan mendapat banyak sorotan karena merupakan pengajar (widyaismara Madya) di Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri periode 2010 hingga saat ini. Sespimti berada di bawah Lembaga Pendidikan Kepolisian (Lemdikpol) yang pernah dipimpin oleh Komjen Pol Budi Gunawan, mantan tersangka di KPK.

"Bukan saya saja yang didukung pimpinan. Masa saya tidak didukung pimpinan saya? Saya ini kan masih aktif, jadi apa pun yang dilakukan kalau perwira aktif harus lapor Kapolri. Apalagi mau daftar KPK, harus ada. Tapi idenya dari saya," kata dia.

Basaria dalam wawancara juga menyatakan ingin menjadikan KPK sebagai Pusat Informasi Korupsi.

"Saya berikan satu gagasan, KPK menjadi pusat informasi tindak pidana korupsi di Indonesia. Data ini bisa dikumpulkan dari seluruh Indonesia, kemudian bisa ditindaklanjuti oleh KPK atau polisi dan jaksa," ungkap Basaria.

Menurut dia, KPK pun sebaiknya melimpahkan proses penyelidikan pada penyidik polisi dan jaksa.

Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang No.30/2002 tentang KPK, disebutkan apabila sudah ada dua alat bukti yang cukup maka KPK boleh menyerahkan kepada polisi dan jaksa.

"Selanjutnya KPK akan melakukan koordinasi. Jadi, tidak mengurangi kewenangan KPK. Ini memang ada diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002," kata Basaria.

Terkait kemungkinan lambannya proses penyidikan di Kepolisian dan Kejaksaan, Basaria mengungkapkan KPK dapat melakukan gelar perkara.

"Apa sih kendalanya sehingga tidak selesai-selesai? Itu dibicarakan kepada pimpinan. Dalam hal ini KPK boleh mengambil alih kasus tersebut, itu maksudnya. Jadi, bukan semuanya diambil alih. Setelah digelar, kemudian kita bicarakan bahwa sisanya sebaiknya dikerjakan KPK," ungkap Basaria.

Pemikiran itu berangkat dari fungsi KPK sebagai trigger mechanism (mekanisme pemicu). Ia yakin fungsi trigger mechanism bisa dilaksanakan dengan semangat kebersamaan, sinergi antara KPK, polisi, dan jaksa.

"Saya yakin dan percaya. Mungkin dua periode berikutnya polisi sudah akan bagus, jaksanya sudah bagus, dengan sendirinya KPK tinggal melaksanakan fungsi pencegahan," tambah Basaria.


Agus Raharjo

Agus Raharjo merupakan mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tahun 2010-2015.

Ia berkarir di LKPP sejak 2005 yaitu sebagai Kepala Pusat Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2005-2008) dan Sekretaris Utama LKPP (2000-2010).

Sebelumnya ia berkarir di Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) sebagai Direktur Pendidikan Bappenas (2000-2002) dan Direktur Sistem dan Prosedur Pendanaan Bappenas (2002-2005).

Agus disorot karena ia belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sejak 2012.

"Mudah-mudahan nanti kalau ada keputusan (diterima sebagai pimpinan KPK), sekalian akan saya laporkan," kata Agus.

Anggota panitia seleksi Harkristuti Harkrisnowo menanyakan mengenai kepemilikan mobil Honda CRV, Mitsubishi, dan Avanza karena kendaraan-kendaraan itu tidak tercantum dalam LHKPN Agus saat mendaftar sebagai capim KPK.

"Mobil, kami tidak memiliki sampai dua hari yang lalu. Kami beli bekas. Sebelumnya mobil yang kami miliki adalah leasing, ada tiga truk untuk angkut sayur di Magetan," kata Agus.

Sedangkan mobil CRV miliknya telah dijual sejak lama.

Anggota panitia seleksi KPK yang lain, Diani Sadiawati, juga menanyakan harta kekayaan Agus. Sebagai pegawai negeri sipil, Enny menilai harta kekayaan Agus cukup besar.

"Aset tanah saya paling luas di Caring, Jonggol. Saya beli tahun 2003-2005 dengan harga Rp3.500 per meter sehingga per hektare Rp35 juta," ungkap Agus.

Saat ini, harga tanah di kawasan tersebut menjadi Rp12 ribu per meter. Menurut Agus, tanahnya di Jonggol tidak subur sehingga tanaman yang ia tanam sering mati karena kekeringan.

"Tanah berikutnya satu kavling di BSD dan satu kavling di Citra Raya Tangerang yang saya beli tahun 97-98 sebelum krisis seharga Rp170 juta dengan sistem angsur," jelas Agus.

Ia mengaku sering mendapat honor di luar gaji pegawai negeri sipil. Salah satunya berasal dari Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) yang ia hadiri delapan kali kegiatannya.

"Transfer ini lewat BCA, enam ribu Euro," tambah Agus.

Sehingga total tabungan di rekeningnya hanya Rp20 juta.

"Saya tiga kali mantu, utang bank. Kalau jeli, PPATK pasti tahu bahwa dari empat rekening saya total nilainya hanya Rp20 juta. Hanya belakangan setelah truk lunas, kami baru bisa menyimpan uang," kata Agus.


Sujanarko

Sujanarko awalnya berkarir di sektor swasta yaitu Kepala Dinas PT Boma Bisma Indra (2000-2003), Ketua Umum Serikat Pekerja (2000-2003), dan Manajer PT Warsila Indonesia (2003-2004).

Tahun 2004 ia bergabung dengan KPK, menjabat sebagai Direktur Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi sejak 2004.

Sujanarko mengklaim dirinya merupakan salah satu pendiri tim pelacakan aset dan gratifikasi seksual.

"Ketika saya melacak aset pejabat-pejabat dari timur mereka tidak punya aset, uangnya habis untuk foya-foya, untuk minum dan perempuan. Saat itu di Singapura sedang ada pidana gratifiksi seks. Jadi, saya terinsipirasi tapi karena menjadi polemik luar biasa, maka saya tahan diri," ungkap Sujanarko.

Sujanarko juga mengakui ada beberapa kode etik KPK yang tidak ia sepakati.

"Kelemahan pertama dari kode etik KPK, kurang detail. Harusnya saat baca, tidak ada lagi multipersepsi. Kalau membaca kode etik FBI ada ribuan lembar. Di KPK tipis sekali, harusnya sebelum masuk semua insan KPK harus tahu secara clear apa yang boleh dan tidak," tambah Sujanarko.

Ia pun mengusulkan agar kode etik di KPK direvisi dan lebih mendetail.

"Saat ini aturan terakhir adalah pada 2008 dan sudah lama tidak di-upgrade, jadi dari sisi hardware tidak berkembang, menurut saya sudah ketinggalan jaman," ungkap Sujanarko.

Pimpinan KPK menurut Sujanarko harus rendah hati dan mau untuk "ngopi bareng".

"Orang KPK harus belajar rendah hati. Pimpinan harusnya datang ke bawah, tepuk pundak, ngopi bareng. Itu yang kurang. Memang yang di KPK ada yang sangat berbahaya yaitu kewenangan luas dari UU, itu bisa mengubah orang yang tadinya nothing jadi... Di KPK memang butuh orang yang cukup rendah hati sehingga tidak menjadi konflik," jelas Sujanarko.

"Apa titik paling lemah KPK?" tanya Diani Sadiawati.

"Ada perubahan fundamental dari periode satu ke berikutnya. Peridoe I paperless. Tapi begitu masuk periode II KPK dibawa ke organisasi yang sangat birokratis, pakai paper yang jadi kendala. Sebetulnya paperless untuk mempercepat komunikasi. Ke depan dikembalikan ke roh awal. Komunikasi KPK di seluruh bidang bisa dipercepat," ungkap Sujanarko.


Johan Budi Sapto Pribowo

Johan adalah calom pemimpin KPK yang paling terkenal karena sudah menjadi Juru Bicara KPK sejak 2007.

Dia adalah seorang sarjana teknik yang pernah menjadi wartawan Forum Keadilan dan Koran Tempo sebelum bergabung dengan KPK pada 2005 sebagai staf fungsional Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.

Tahun 2008 dia ditunjuk menjadi Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Pada 2009 ia dipindah menjadi Kepala Biro Humas, namun ia sudah ditunjuk sebagai juru bicara sejak 2007.

Pada 2014 dia menjadi Deputi Pencegahan dan mundur sebagai juru bicara KPK tapi pemimpin saat itu masih ingin menjadikannya sebagai juru bicara, termasuk saat ia ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Pimpinan KPK pada 2015.

"Pemimpin harus bisa membangun regenerasi, tapi mengapa belum ada regenerasi juru bicara?" tanya Betti Alisjahbana pada tes wawancara 25 Agustus.

"Saat saya diangkat menjadi Deputi Pencegahan saya sudah mundur sebagai jubir tapi dari rekrutmen yang dilakukan sampai dua kali tidak mendapat pengganti. KPK bahkan sudah membuka seleksi Kabiro Humas, sayangnya tidak juga mendapat orang untuk posisi itu," jawab Johan.

Menurut Johan, posisi juru bicara tidaklah menyenangkan karena menjadi musuh banyak orang.

"Orang banyak yang kesemsem sama Pak Johan karena keliatan cool, kok Bapak belum dikloning-kloning?" tanya anggota panitia seleksi Supra Wimbarti.

"Ukuran KPK yang dipakai untuk menjabat suatu jabatan itu cukup tinggi sehingga sudah dua kali rekrutmen dari luar belum diterima. KPK pun gampang mendapat serangan, jadi jubir harus di depan menjelaskan dan bisa jadi bemper, sekarang pun kebablasan oleh pimpinan KPK saya diminta jadi jubir," jelas Johan.

Meski demikian, Johan mengaku hanya bagian kecil dari KPK.

"Saya hanya skrup kecil dari mesin besar KPK," kata dia.

Johan menuturkan KPK dalam 10 tahun terakhir mengalami gelombang hiruk pikuk. Kalau sinetron sudah sesi ketiga. Dalam konteks itu ia terakhir sebagai ketua tim krisis KPK.

"Banyak yang saya lakukan tapi tidak bisa saya mengklaim itu karena effort pribadi sebab itu adalah kerja tim," tegas Johan.

Meski tidak memegang gelar pendidikan di bidang hukum, tapi untuk menjadi pimpinan KPK yang diperlukan adalah mengerti hukum.

"Yang penting pimpinan KPK mengerti hukum, bukan harus sarjana hukum. Orang yang mengerti bisa saja sarjana hukum, bisa juga tidak, karena KPK ada lima tugas dan salah satu tugas penting terkait penegakan hukum, jadi harus ada pimpinan yang mengerti soal hukum karena yang dibutuhkan KPK bukan sekadar sarjana hukum," kata Johan.

"Tapi bagaimana dengan status sejumlah tersangka yang terkatung-katung di KPK saat ini?" tanya Harkristuti Harkrisnowo.

Johan mengatakan, persepsi publik KPK cepat sekali menetapkan seseorang menjadi tersangka namun setahun setelahnya baru diperiksa sebagai tersangka.

Ketika menjadi Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, Johan mengaku baru tahu harus ada perubahan-perubahan drastis yang dilakukan, salah satunya memperkuat proses penyelidikan yaitu dengan dua alat bukti permulaan cukup sehingga benar-benar didapat secara sahih.

"Tidak boleh seseorang menjadi tersangka sementara prosesnya sangat lama karena kasihan tidak ada kepastian hukum dan bisa buka peluang hal-hal yang bertabrakan dengan semangat antikorupsi," ungkap Johan.


Laode Muhamad Syarif

Laode merupakan Lektor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Senior Advisor Partnership for Governance Reform in Indonesia (Kemitraan).

Dia juga pakar hukum lingkungan dan menjadi pelatih hukum lingkungan di Asian Development Bank Manila.

"Ke depan, KPK bahkan polisi dan kejaksaan harus fokus ke natural resources karena hal itu tidak bisa diperbaharui. Selain penindakan, KPK bisa bergerak di pencegahan misalnya menciptakan safe guard supaya pemberian izin akuntabel, dicatat," kata Laode dalam tes wawancara 25 Agustus.

Terkait hubungan antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan, Laode berpendapat perlu ada pendekatan horizontal. KPK harus mau memberi bantuan, misal ada strategi reformasi polisi dan kejaksaan, KPK bisa menawarkan pelatihan bersama.

"Skill KPK lebih banyak expert-nya karena mereka dilengkapi expert bukan hanya sarjana hukum, tapi ada akuntan dan ahli-ahli lain. Kalau polisi ya adanya polisi, jaksa juga," ungkap Laode.

Di bidang penindakan, Laode berpendapat bahwa tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dan pemulihan aset perlu dijalankan simultan dan kerja sama antarlembaga termasuk Kementerian Hukum dan HAM sebagai pengawal undang-undang.

"Saya bekerja dengan penegak hukum khususnya untuk capacity building. Pekerjaan-pekerjaan itu saya anggap penting dalam rangka menciptakan strategi pemberantasan korupsi ke depan karena tidak bergantung pada satu lembaga. Karena saya lihat komunikasi antarlembaga penegak hukum kurang. Padahal criminal justice system harusnya semuanya," ungkap Laode.

Delapan orang tersebut masih harus menghadapi uji kepatutan dan kelayakan di hadapan anggota Komisi III DPR. Kali ini mereka bukan hanya dituntut berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi tapi juga mampu beradaptasi dengan politisi tanpa kehilangan integritas pribadi.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015