Brussel (ANTARA News) - Uni Eropa (EU) akan memperpanjang sanksi untuk enam bulan berikutnya bagi warga Ukraina dan Rusia yang dituduh menyokong para pemberontak pro-Moskow, yang berperang untuk mendapatkan kemerdekaan dari Kiev, kata sumber-sumber EU, Rabu.

"Ada perjanjian politik (para pejabat) sepakat untuk memperpanjang sanksi-sanksi selama enam bulan hingga Maret tahun depan," kata seorang sumber kepada AFP setelah berlangsungnya pertemuan para diplomat negara-negara Uni Eropa untuk membahas sanksi.

Sumber-sumber mengatakan negara-negara anggota EU diperkirakan akan secara resmi mengesahkan keputusan itu menjelang berakhirnya sanksi seperti dijadwalkan, yaitu 15 September.

Kelompok beranggotakan 28 negara itu telah menerapkan pembekuan aset serta larangan bepergian terhadap sekitar 150 orang serta hampir 40 entitas atas peranan mereka di Ukraina timur. Langkah itu membuat Moskow bereaksi keras. Rusia menerapkan larangan impor makanan dan barang-barang lainnya dari EU.

Di antara daftar pihak yang mendapat perpanjangan sanksi adalah sosok-sosok penting gerakan separatis di Ukraina timur serta rekanan-rekanan bisnis Presiden Rusia Vladimir Putin.

Putin telah berkali-kali menyatakan bahwa sanksi-sanksi itu tidak efektif dan kontraproduktif dengan upaya perdamaian namun sanksi secara jelas memberikan dampak terhadap perekonomian Rusia yang memang sudah lambat.

Selain sanksi-sanksi individual, Uni Eropa sudah menghantam Rusia dengan sanksi ekonomi yang lebih merusak sektor pertahanan, keuangan dan energi negara itu.

Pada Juni, para menteri luar negeri EU sepakat untuk memperpanjang sanksi sektor ekonomi tersebut hingga Januari 2016. Sementara itu, sanksi-sanksi terpisah terhadap mereka yang bertanggung jawab mendukung pencaplokan Rusia atas Krimea pada 2014 diperpanjang hingga Juni tahun depan.

EU bersikeras bahwa pihaknya tidak akan menghentikan sanksi sampai Rusia menerapkan secara penuh kesepakatan gencatan senjata, yang ditandatanganinya hingga Februari tahun ini dengan Kiev.

Pemberontak dan pasukan pemerintah telah berulang kali menuding lawan-lawan mereka melanggar persetujuan itu sementara laporan para pemantau internasional mengungkapkan adanya pelanggaran setiap hari dan bahwa jumlah korban tewas melambung menjadi 7.000 orang.

(Uu.T008)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015