Intinya proyek ini menjadi B to B tidak memakai APBN"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memastikan pemerintah tidak menerima proposal Jepang dan Tiongkok terkait pembangunan kereta cepat karena proyek tersebut akan lebih baik bersifat business to business (B to B).

"Intinya proyek ini menjadi B to B tidak memakai APBN," katanya di Jakarta, Rabu malam.

Menhub menjelaskan salah satu hal yang menyebabkan pembangunan kereta cepat diputuskan bukan merupakan proyek pemerintah karena usulan skema pembiayaan atau penjaminan yang menggunakan APBN.

Dengan adanya keputusan tersebut, lanjut dia, maka pemerintah tidak lagi terlibat langsung dalam pembangunan kereta cepat dan hanya bersikap sebagai regulator, apabila ada swasta yang ingin membangun proyek itu.

"Sekarang pemerintah tidak ikut-ikutan dan hanya sebagai regulator. Jadi kalau ada yang mau membuat kereta cepat atau setengah cepat diserahkan ke swasta. Kalau BUMN ditawarkan, itu diklarifikasikan sebagai badan usaha," ujarnya.

Menhub mengatakan pemerintah Jepang dan Tiongkok bisa terlibat lagi dalam proyek kereta cepat, namun hal tersebut bukan lagi menjadi keputusan pemerintah, tapi investor swasta atau BUMN tanpa menggunakan APBN.

"Kalau B to B diserahkan ke BUMN atau swasta. Jadi kalau mau melanjutkan silahkan membuat bisnis sendiri, mau Jepang atau Tiongkok," kata Menhub.

Menurut dia, pemerintah akan lebih baik fokus membangun jalur kereta di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, dengan menggunakan APBN, dibandingkan membangun kereta cepat yang bukan menjadi prioritas saat ini.

Sebelumnya, pemerintah menerima proposal proyek kereta cepat Indonesia yang diwacanakan sekelas "Shinkansen" dengan kecepatan 300 kilometer per jam dari Jepang dan Tiongkok untuk melayani rute Jakarta-Bandung.

Untuk rute Jakarta-Bandung, kereta cepat diperkirakan mampu memangkas waktu tempuh perjalanan dua hingga tiga jam, menjadi sekitar 37 menit. Dalam dokumen studi kelayakan Jepang, juga terdapat wacana rute kereta cepat ini akan melayani konektivitas ke Cirebon bahkan hingga Surabaya.

Jepang sudah terlebih dahulu melakukan studi kelayakan tahap pertama dan menyerahkan proposal kepada pemerintah. Menurut data Bappenas, dari proposal Jepang diketahui biaya pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 6,2 miliar dolar AS.

Sedangkan Tiongkok melakukan studi kelayakan setelah Jepang. Dari proposal Tiongkok, kebutuhan investasi untuk pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 5,5 miliar dolar AS.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015